Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Arwah Jerangkong Yang Gentayangan

Saat itu saya masih kelas 2 SMU di Tuban, teman kost saya yang sekolah di SMK bercerita bahwa di desanya semua orang yang meninggal akan menjadi jerangkong, kalau yang meninggal orang baik maka hanya 7 hari, kalau tidak baik bisa sampai 40 hari. Hal tersebut saya ceritakan pada ustadz, beliau sama tertariknya dengan saya.Maka kami sepakat untuk melihat sendiri dan ternyata teman kost juga setuju akan mengajak kami ke desanya

Hampir sebulan kemudian, teman saya memberitahu kalau ada teman sekelasnya yang satu desa denganya tadi pulang karena ada pamannya yang meninggal, maka esoknya pas hari sabtu kami bertiga ke rumah teman itu, di sebuah desa kecil pesisir laut utara yang masuk kecamatan B*****g L********n.

Hari masih siang ketika kami sampai rumahnya dan setelah dhuhur baru beranjak melayat ke temannya, sebut saja Arif.Setelah basa basi, soleh teman kostku mengatakan apa maksud lain kedatangan saya bersama mas ustadz kerena beliau msh muda, Arif tidak keberatan dan bersedia menemani agar tidak dicurigai orang kampung.Maka kami sepakat sesudah sholat isya bertemu di depan makam.

Sesampai di rumah Soleh, mas Ustadz bertanya,
“Mas Soleh, apa sebelumnya pernah ada yang melihat sendiri penampakan jerangkong itu?”
“Silahkan tanya semua orang di desa ini mas, hampir semuanya mengetahui sendiri”. Jawab soleh bersamangat.
” lalu, apakah pernah ada yang melihat kalau itu memang dari makam orang yang baru meninggal?”.
“Saya sendiri beberapa kali pernah melihat meski dari jarak agak jauh”.
“Lalu bagaimana penampakan saat keluar dari dalam kuburan?” Tanya mas Ustadz penasaran.
“Mula-mula ada asap kecil dari sekitr pusar jenazah, lalu semakin membesar dan membentuk jerangkong yang berdiri di patok sebelah kaki, lalu setelah terbentuk sempurna meloncat ke patok yang di kepala lalu loncat lagi ke patok sebelah kaki, saya lihat itu diulang sampai 3x baru meloncat ke atas mengarah ke desa”.
“Lalu apa yang di lakukannya di desa?”.
“Dia akan menemui saudara-saudaranya, kerabat dan para sahabatnya”.
“Apakah mereka semua yang di datangi melihat juga?”
“Ya, jelas sekali. Karena kebiasaan, maka setiap ada yang meninggal, maka keluarga kalau malam akan tinggal dalam satu rumah sampai beberapa hari, terutama untuk menjaga anak-anak”.

Kamipun berunding tentang apa yang akan di lakukan nanti malam.
“Kalau saya tutup makamnya dengan kain yang di asma’, kemungkinan tidak akan bisa nembus” kata mas Ustadz.
“Tetapi itu tidak mengungkap misterinya” kata saya.
“Saya ingin menangkap jerangkong itu” kata beliau lagi.
“Saya setuju” kata soleh menimpali.
Maka kamipun merundingakan cara menangkapnya.
“Pakai toples saja” usul soleh.
“Saya kawatir kalau pecah akan membahayakan” kata mas ustafz.
“Pakai kaleng biskuit saja”. Usul saya.
Kamipun sepakat menggunakan kaleng menutup lubang jerangkong.
Setelah dzuhur kami dipersilahkan istirahat dulu, ketegqngan membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam membuat saya sulit tidur.saya lihat mas ustadz juga tidak bisa tidur meski matanya merem.

Setelah maghrib kami makan bareng keluarga Soleh, keluarganya sengaja tidak kami beritahu apa misi kami dan setelah isya, soleh membawa kaleng biskuit berjalan di depan.Gardu-gardu masih sepi, rumah-rumah masih ramai seperti tidak ada apa-apa.Sesampai di depan makam, saya lihat Arif dengan seorang lagi sudah menunggu, ternyata adalah kakaknya yang ingin menemani.
Kami berlima langsung menuju ke makam lalu duduk bergerombol di sisi barat, mengamini do’a yang di panjatkan mas ustadz.

“Masih terlampau sore” kata Arif memecah kesunyian malam.
“Semalam, beberapa orang menjumpai pakde di mukut desa, ada yang disapa”
“Dalam bentuk apa pakde menampakkan diri?” Tanya saya.
“Ya masih seperti saat masih hidup.
“Tidak dalam bentuk itu?” Tanya saya lagi.
“Tidak, namun tengah malam kami di rumah mendengar suara itu”.
“Suara apa”
“Net…net” kata arif.
Apa mmg seperti itu bunyinya.
“Ya” kali ini mas ustadz yang menjawab.

Tiba-tiba kami terdiam, masih sekitar jam 10 malam, angin terasa lebih dingin.Mas Ustadz memberi isyarat pada Soleh untuk mengeluarkan kaleng yang tadi di bawa.
“Jangan ada yang bersuara, jangan pula membaca apapun walau dalam hati”. Kata beliau sambil mengambil kaleng dan membuka tutupnya.
Tanpa di komando, duduk kami semakin rapat, haus yang tadi terasa sekarang seolah hilang, waktu seolah berhenti dalam ketegangan.

Mas Ustadz mengapit tanganku supaya duduknya bergeser di sampingnya.Saya bergeser ke depan, terasa sekali suasana sepi mencekam, udara terasa makin dingin, selain deg-deg’an ada juga ketegangan.Tiba-tiba mas ustadz mengangkat tangannya, seolah memberi isyarat agar kami diam, maka seolah kami diam mematung, yang terdengar hanya degub jantung, beliau membalik kaleng dengan posisi siap, saya pun coba menangkap apa yang terlihat di gundukan tanah basah itu.
Ada seperti asap rokok tepat di depanku, ketika saya mau memberitahu yang lain, ternyata semua melihat kearah yang sama, ya… semua melihat kearah asap itu.

Sekitar dua menit kemudian asap seolah di tiup dari bawah, mengarah lurus ke atas, saya terpaku dan tetep tidak bergerak ketika mas ustadz seolah menerkam asap tersebut sesaat setelah terdengar letupan kecil.

“Bantu megang….” kata beliau, namun kami tidak beranjak seolah tidak mendengar.
“Bantuin.!!” Kata beliau sedikit keras, seolah tersadar saya bergerak cepat memegang kaleng.
Namun karena suasana yang gelap sehingga tangan beliau yang saya tekan, saat itulah kaleng seolah terlempar keatas.

Tidak jelas terlihat namun sesaat kemudian seperti ada ledakan kecil dan kaleng terlempar ke tanah.
Selarik sinar putih terlihat lepas mengarah ke desa.
” Mari kita pulang” kata mas Ustadz tidak perlu di ulang dua kali.
Kamipun bergegas keluar dari pemakaman.

“Ke rumah saya saja yang dekat” kata Arif seolah komando yang kami turuti tanpa membantah.
Setelah membersihkan diri, kami berkumpul di balai-balai depan rumah.
Baru saya sadari kalau suasana sepi sekali, tidak ada rumah yang terbuka, di dlm rumah ada banyak orang yang tidak beralas tikar di ruang tengah.Beberapa lelaki masih terjaga dengan membawa senter, anak-anak tertidur pulas namun para ibu terlihat gelisah.

“Malam ini kita gagal, saya tidak menyangka tenaganya begitu kuatnya” kata mas Ustadz agak berbisik.
“Maaf saya tadi kurang tabggap” kata saya menyesali yang terjadi.
Maka kamipun terlibat dalam diskusi yang seru sambil berbisik.
“Net..net” terdengar suara cukup keras di susul dengan menyalanya beberapa senter mengarah ke suara tadi.
“Maaf sebaiknya kita masuk saja” pinta Arif.
“Kami pulang saja dulu, sudah larut, biar nanti tidak di cari bapak ” kata Soleh, maka kamipun berpamitan, untuk ketemu lagi besok habis isya di depan pemakaman.
“Kami akan coba membuat persiapan lebih baik besok”. Kata mas ustadz sambil bersalaman.

Hampir sampai jalan desa ketika kami merasa ada yang ganjil
“Soleh mana?” Tanya saya sama mas ustadz, maka kamipun serentak menoleh ke belakang, coba mengamati jalan setapak kerumah Arif yang remang-remang, Terlihat juga Soleh sedang berdiri tidak bergerak sekitar 70 m dari tempat kami.Belum lagi saya memanggil, mas ustadz mengamit tanganku.

“Perhatikan apa yang ada di depannya” kata beliau lirih sekali.
Maka saya coba melihat dengan lebih teliti, Soleh melihat ke arah kirinya, di sana hanya ada kebon singkong dan beberapa rumpun pohon pisang

“Ada apa?” Tanya saya tidak mengerti.
Maka mas ustadz menarik tangan saya agar bergeser ke kanan jalan mendekatinya

“amati batang pohon pisang yang didepannya”.
“Sambil memincingkan mata saya coba fokus, ada sesuatu di sebelah pohon itu, tapi hanya seperti pohon pisang yang kulit luarnya terkelupas saja hingga terlihat lebih putih.Kerena penasaran perlahan saya berjalan mendekati, kali ini mas ustaz tidak mencegah, bahkan mendahului didepanku. Makin mendekat makin nampak jelas, itu bukan pohon pisang yang terkelupas.

Saat itulah sosok tersebut lenyap, Soleh masih berdiri ditempatnya ketika kami datang, matanya masih menatap tempat tadi.
“Hai” tegur saya sambik mengamit tangannya, terasa dingin.
Dia mulai menarik nafas panjang setelah mas ustadz membisikkan sesuatu ke telinganya.
“Akhirnya beliau menemui saya” katanya sambil mulai berjalan di antara kami berdua, saya tidak menanggapi namun tanpa terasa kaki kami berjalan lebih cepat.

Sesampai di rumah, ternyata pintunya masih terbuka bapaknya Soleh sudah menunggu di ruang tamu.
“Kalian dari makam?” Sapanya mengejutkan.
“Benar pak” sahut mas Ustadz cepat sambil duduk di kursi sebelah beliau.
Saya lihat Soleh masih tegang.
“Dari makamnya pak Wiryo ya Le..?”
“Ya… pak” jawab soleh agak terbata.
“Beberapa org mengatakan pada bapak”.
maka kamipun tidak lagi menyembunyikan apa yang kami lakukan.
“Dahulu, almarhum kyai Sodikin juga pernah melakukan seperti yang kalian lakukan”.
“Hasilnya bagaimana pak?” Tanya saya antusias.
“Kami orang kampung tidak ada yang diperbolehkan mengikuti, hanya bisa melihat dari jauh saat beliau dan beberapa santrinya memasuki pemakaman.
“Apakah bapak melihat apa yang mereka bawa?”.
“Salah seorang santri membawa kelapa, hanya itu yang bapak tahu”.
“Mungkinkah itu yang dipakai menangkap…”
“Bisa jadi, karena kelapa sangat kuat” kamipun mulai sepakat.
Bapaknya Soleh tidak mencegah ketika kami katakan besok malam mulai ke makam lagi.
“Sebaiknya saya tidak ikut” kata Soleh agak mengejutkan, namun saya dan mas Ustadz memakluminya.
Pengalaman bertemu dengan jerangkong tadi ternyata masih mengguncang jiwanya.
“Biar bapak yang akan menemani kalian, biar bapak yang menjawab kalau ada warga yang mempertanyakan”.begitulah, sisa malam itu kami ginakan istirahat sebaik2nya.

Sudah lewat tengah malam ketika kami membersihkan diri hendak istirahat.
Di bale-bale bambu besar di ruang tengah, ternyata sudah di hidangkan teh panas dan beberapa makanan kecil.
“Saya tidur disini ya, bersama kalian” kata soleh.
Tanpa mempersilahkan kami, tangannya meraih gembili bakar dan melahapnya, kamipun segera ikutan karena memang lapar juga.
“Beliau tadi yang menemuiku” katanya sambil menelan.
“Pakdenya Arif?”
“Ya, kelihatan kalau marah sama saya”.
“Apa yang dikatakannya..?”
“Tidak ada, hanya sorot matanya yang mengatakan, Matanya merah, menakutkan sekali:
“Kenapa tidak memberitahu kami?” Tanya mas ustadz.
“Tadi, begitu melihat, tiba-tiba kakiku seolah tidak bisa di gerakkan, bahkan seluruh tubuhku seolah kaku, lama sekali kami bertatapan”. Katanya agak gemetar sambil melihat ke arah kaca jendela.
“Kita tidur dulu” kata saya mengingatkan sambil memiindah makanan ke meja.

Soleh tidur di antara kami, angin laut berhembus kencang sehingga udara terasa dingin.Sesekali dia melirik ke arah jendela kaca dengan gelisah, namun akhirnya memunggunginya dan terlelap.Saya masih belum ngantuk, saya masih teringat apa yang tadi ada di balik pohon pisang… “Sptnya itu tadi pocong, bukan jerangkong atau tengkorak”.

Karena belum ngantuk, saya putuskan untuk keluar rumah menghirup udara pantai.Pintu keluar tidak terkunci, ternyata di amben depan ruman ada bapaknya Soleh dan seorang lelaki tua.
“Belum tidur?” Sapa pak Kolil bapaknya Soleh.
“Belum ngantuk pak” kata saya sambil bergabung duduk melingkar.
Beberapa makanan dan kopi terhidang disitu.
Setelah basa basi sebentar, maka saya tanyakan yang selama ini menjadi ganjalan di hati
“Maaf pak, apakah semua warga di sini bila meninnggal dunia akan berkeliaran dulu?”
“Hanya di dukuh ini saja, dukuh sebelah tidak.
“Mengapa demikian?”
“Danyangnya berbeda” kata simbah yang sedari tadi seperi melamun.
“Sejak kapan kejadiannya mbah?” Kali ini pertanyaan langsung saya tujukan ke beliau.
Saya menunggu jawabannya cukup lama, saya lihat simbah menikmati rokok klobotnya, namun tetap diam bahkan pak Kolil pun seolah tidak mendengar pertanyaan saya.Mungkin mereka sengaja merahasiakannya, kata hati saya.Karena suasana tidak nyaman maka saya pamit untuk istirahat.

Seolah baru saja pulas ketika mas ustadz membangunkan untuk sholat subuh. Karena masih ngantuk, maka setelah sholat jamaah saya tidur lagi. Matahari sudah menyengat ketika saya terbangun. Di meja, saya lihat makanan tinggal sepiring, mungkin yang lain sudah sarapan.
Karena tidak ada orang, saya ke belakang bermaksud ke kamar mandi. Saya lihat mas ustadz, soleh dan pak Kolil seperti memilih beberapa butir kelapa.

“Saya yang ini cukup baik” kata pak Kolil sambil mengangkat sebutir kelapa paling besar dengan warna agak kering.Maka beliau pun memotong ujungnya pakai gergaji.
“supaya bisa di pakai tutup” kata beliau sebelum ada yang bertanya.

Sehabis sholat ashar, Pak Kolil permisi mau membawa tempurung kelapa ke mbah Darmo, kakek tua yang saya temui malam hari.Sekitar setengah jam kemudian beliau kembali sambil menenteng tas plastik berisi kelapa.Ketika saya terima dan amati, guratan guratan halus hampir memenuhi seluruh permukaan kulit kelapa, saya serahkan ke mas Ustadz, beliau mengamati dengan teliti.

teliti sekali dengan wajah mimik yang serius.
“Sesungguhnya beliau itu siapa pak?” Tanya mas ustadz pada pak Kolil dengan sungguh-sungguh.
“Beliau hanya orang paling tua disini”. Jawab pak Kolil setelah diam agak lama, saya amati mas Ustadz sepertinya tidak puas dengan jawaban itu.
“Bisakah bapak mengantarkan saya menemui beliau?” Tanya mas Ustadz dengan ekspresi menyelidik, kali ini pak Kolil terlihat mulai gelisah dan tidak menjawab.
“Bagaimana pak?” Desak mas Ustadz tidak sabar, saya jadi tertarik dan mulai mengingat-ingat bapak tua yang saya lihat malam itu. Wajahnya penuh kerutan, tubuhnya relatif kecil, duduknya
saya baru sadar, posisi duduknya tegak nyaman seolah tidak mudah goyah meski sedang menghisap rokok dan ngopi.

Ketika berkata tanpa menoleh, bahkan ketika saya tanya diam tanpa memalingkan wajah, seolah terpusat pada satu titik.
“Beliau santri kyai yang dulu menangkap jerangkong” jawab pak Kolil mengejutkan saya, namun tidak dengan mas Ustadz, beliau hanya mengangguk-angguk sambil menarik nafas panjang.
“Pantas…” gumamnya tidak jelas sambil kembali mengamati guratan-guratan halus di kulit kelapa.
“Mas Ustadz, inikah yang mau di tanyakan ke simbah”. Kata pak Kolil sambil menunjuk ke sebuah titik kecil.
“Benar pak, saya tahu ini bukan ba’ krn titiknya dua”.
Juga bukan Ya’, saya pernah melihat kyai saya menuliskannya” kata mas Ustadz sambil membuka kain iket hitam yang selama ini dikalungkan di lehernya, ketika dibuka, ternyata ada wifiq membentuk lingkaran di tengahnya.
“Hampir sama dengan ini” kata beliau sambil menunjuk salah satu huruf, yang saya kira ba’ tetapi di bawah titiknya ada titik lg.
“Simbah juga membawakan ini” kata pak Kolil sambil membuka bungkusan kain putih kecil.

Dari dalam kantong kain tersebut ada beberapa helai benang, seperti benang kasur. Warnanya kecoklatan, mungkin tadinya putih.
“Yang tidak teguh, nanti supaya memakai ini di lengannya” kata Pak Kolil menjelaskan.
“Apa mbah Darmo asli penduduk sini pak?” Tanya mas Ustadz sepertinya masih penasaran dengan sosok simbah itu.

Kali ini sepertinya pak Kolil menyerah, beliau mengisyaragkan agar kami mengikuti ke ruang tengah dimana ada bilik bambu besar, dan kami pun duduk melingkar, termasuk Soleh.
“Beliau sengaja ditaruh di sini oleh kyainya” kata beliau memulai penjelasannya, saya agak terkejut karena tidak menyangka, mas Ustadz diam saja menunggu kelanjutannya.
“Dlm keseharian, mbah Darmo mengurus masjid, dari situlah beliau hidup”.
“Keluarganya?” Tanya saya penasaran.
” Istrinya sudah meninggal lama, anak cucunya sering datang mengunjungi”.
“Sesungguhnya, untuk apa mbah Darmo di taruh didesa ini?” Tanya mas Ustadz.
“Untuk mengawasi, serta menjaga agar kejadian seperti ini tidak menyebar ke desa yang lain, juga menjaga agar arwah tersebut tidak meresahkan warga”.
“Memangnya sebelumnya bagaimana pak?”
“Dahulu, kalau ada orang meninggal apalagi yang kelakuannya tidak baik, maka seluruh desa di cekam ketakutan, karena seolah-olah yang gentayangan tidak satu, bahkan sering keranda yang di pakai membawa mayat berjalan sendiri di sepanjang jalan desa”.

Malam itu, pemakaman tidak lagi sesepi malam sebelumnya.Namun banyaknya bunga segar yang di tabur tadi sore menebar aroma yang aneh, seperti biasa hari 3, tiga sanak keluarga melakukan ziarah kubur. Bunyi kentongan dari pos ronda di kejauhan menunjukkan kalau sudah jam 11 malam. kami semua diam, fokus pada satu tempat dimana kemaren asap keluat dari sana, bahkan mas Ustadz tidak lagi menggunakan iket di kepala melainkan di sampirkan saja di pundaknya.

“Kalau perlu gunakan tenaga dalammu untuk memagari atau menghantam bila kami kewalahan”. begitu kata beliau tadi saat kami berjalan menuju makam, saya menyanggupi. Karena sepertinya malam ini harus tuntas, entah berhasil atau tidak karena besok pagi beliau kerja dan akupun masuk sekolah.Bahkan sejak dair rumah, pak Kolil sudah mengikatkan benang di tangan kiri kita semua, juga beliau.

“Kalau sampai gagal, akan tidak baik buat warga disini” kata beliau agak misterius.
“Kenapa Pak?” Tanyaku heran.
Seperti malam kemaren, karena kalian gagal, maka hampir semua orang di datangi, bukan hanya keluarganya, seperti yang dialami Soleh” kata beliau menjelaskan.
Hal itu membuat kami tidak enak, terutama mas Ustadz, karena itu malam ini beliau mau berusaha habis-habisan.

Suasana makin tidak nyaman, apalagi mas Ustadz dan Pak kolil ada di seberang.Dari Tadi Arif dan saudaranya tidak bersuara, meskipun langit gelap, namun selintas terlihat wajahnya yang pucat dan tegang, bahkan begitu terkejutnya dia ketika aku senggol tangannya.

Waktu seolah tidak bertambah, mengharap supaya mendegar lagi suara kentongan yang ke 2 terasa sangat lama, tanpa sadar saya meraba benang yang melilit di tangan kiri.
“Masih ada” kata saya dalam hati sambil menenangkan pikiran.
Meskipun di tengah pemakaman, karena ber 5 seharusnya tidak ada alasan untuk takut, namun menantikan kepulangan jerangkong di rumahnya, sungguh memerlukan keberanian ekstra.

Saya amati sekitar belakang mas ustadz dan pak Kolil, karena sudah terbiasa di kegelapan, maka mata mulai bisa melihat dalam keremangan. Mereka benar-benar mengamati belakangku dengan teliti, sama seperti yang aku lakukan. Hanya pohon kamboja dan beberapa semak yang ada di sekitar, jauh di tepi pekuburan terlihat perdu yg pekat, selain itu hanya rasa gatal-gatal di tangan dan kaki karena semak dan nyamuk.

Tiba-tiba saya melihat Pak kolil mengamit tangan mas ustadz sambil memberi isyarat suatu arah, maka mas Ustadz mengikuti petunjuk pak Kolil dan matanya tertuju ke belakang saya, sama dengan pak Kolil arah pandangannya, terlihat mereka berdua seolah menajamkan pandangan ke sesuatu di belakang. Ternyata Arif dan saudaranya juga mengamati gerak gerik mereka. Hampir saya loncat ketika sebuah tangan dingin memegang tanganku.

“Arif” kata hatiku, tangannya memegang erat, terasa dingin dan bergetar.
Pak Kolil dan mas Ustadz seolah mengikuti pergerakan yg terlihat di belakan kami, Arif mulai menggeser duduknya makin merapat, rupanya dia didesak saudaranya

Mas Ustadz merubah posisi duduknya, tidak lagi bersila, masih ber alas kardus tetapi kaki kirinya di tekuk ke bawah sedang kaki kanannya di tekuk ke depan. Sorban yang sedari tadi di sampirkan di bahu sekarang di llitkan di tangan kirinya.Sambil menyerahkan kelapa ke pak Kolil sehingga tangan kananya bebas.Posisinya seolah siap menerkam sosok yang sedari tadi tidak terlepas dari pandangannya.Melihat itu semuanya menjadi semakin tegang, pak Kolil pun tetap mengikuti pergerakan di belakang saya sama dengan mas Ustads.

Cengkeraman tangan Arif semakin keras sehingga tanganku terasa mulai kesemutan.Perlahan saya merubah posisi kaki seperti yang di lakukan mas Ustadz, begitu juga Arif dan saudaranya, namun lebih mirip posisi siap lari.Sayup-sayup terdengar suara semak tersibak, semakin lama semakin jelas dan semakin mendekat.Keringat dingin makin mengucur dari tubuhku, semakin jelas suara itu semakin sulit badanku digerakkan.Mas ustadz sepertinya memahami kegelisahan kami, dia mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar berdiam diri. Meski tidak sedingin tangan arif, badanku juga terasa dingin karena peluh dan ketegangan.

“Mbah Darmo” desis mbah Kolil di iringi desah nafas kami keolah bersamaan.Benar saja, begitu saya menoleh beliau sudah begitu dekat sehingga meski tidak terlihat jelas namun sosok nya saya kenali.Beliau segera duduk di dekat saya.
“Sebentar lagi dia akan keluar dari dalam kubur” kata mbah Darmo mengejutkan kami semua.
Ternyata jerangkongnya belum keluar, masih di dalam kuburan.

Setelah duduk diantara kita, mbah Darmo menyalakan lampu minyak dan meletakkan di sebelah patok yang di selatan “Kalu tidak ada penerangan walau sedikit, bagaimana bisa tahu dari sebelah mana dia keluar” katanya mengingatkan, mas ustadz memerah wajahnya, namun diam saja.
“Biar saya yang pegang batok kelapanya” dengan senang hati Pak Kolil menyerahkan ke mbah Darmo, setelah ada sedikit penerangan, ternyata kami ber lima berrmandi keringat, termasuk mas uztadz, sehingga tidak bisa menahan senyum, sambil menunduk, tidak enak kalau ada yang melihat.

“Perhatikan” suara mbah Darmo memecah kesunyian, hingga suasana yang tadinya sudah nyaman kembali mendebarkan, beliau menunjuk suatu titik di gundukan tanah basah itu, saya amati dengan teliti.
“Asap” gumam kami hampir bersamaan, terlihat asap tipis muncul dr dalam tanah, selain mbah darmo dan mas uztadz semuanya beringsut mundur.
Tiba tiba asap menebal dan terdengar bunyi “Tiiiittt…..” pada detik itulah mbah Darmo dengan cepat menutup lobang asap itu dan hampir bersamaan mas ustdz ikut menekan tempurung kelapa itu
“Bantu memegangi” teriaknya menyadarkanku, hampir bersamaan kami berempat melompat sehingga berdesakan.
Tidak tahu tangan siapa yang saya tekan, ada dorongan ke atas, kuat sekali.
“Tahan yang kuat” kembali mas ustadz memberi aba-aba, sehingga batik kelapa yang tadinya mulai terangkat, perlahan turun,
“Klap klutik!” entah bagaimana mbah Darmo melakukan, tapi tampak tutup kelapa sudah terpasang, bersamaan dengan suara melengking itu lenyap dan tidak berontak lagi, kami pun kembali duduk sembarangan, tinggal mbah darmo yang memegang batok kelapa itu.
“Dekatkan lampunya” perintah beliau, lagi lagi hanya mas ustdz yang tanggap, maka didekatkannya lampo ke batok kelapa, lalu tutupnya di buka, bergantian kami melihat yang di dalamnya
“Potongan jari” desis saya.

Malam itu juga, potongan jari itu di kubur lagi, tetap di dalam batok kelapa.Mas ustadz memimpin do’a untuk kesempurnaan arwah agar tenang di alam kubur.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »