Seorang ayah datang pada saya, dia mengajak serta seorang gadis kecil yang masih kelas 5 SD.
“Kelebihan yang miliki anak saya sejak kecil ini merupakan anugerah atau kutukan?,” tanyanya.
“Hai,” sapa saya pada gadis itu.
Dia menoleh kearahku tetapi bola matanya bukan ke arahku, melainkan ke arah samping kiri ku. Karena penasaran, saya coba test yang lebih sulit. Ternyata pandangannya berubah mengarah ke Singo Mulanjono yang ada di pintu masuk rumah, ternyata pandangannya lumayan kuat. Maka saya coba lagi yang sedikit lebih tinggi, kali ini duduknya beringsut mendekati ayahnya sambil tatapan matanya mengarah ke Nyai Srentini, siluman dari Goa Nglaruk yang duduk dekat aquarium.
Saya seolah-olah tidak mengerti, sambil menghadirkan Eyang Samber Langit dari Gunung Cerme, pandangannya ke arah beliau tapi tidak fokus ke mata, berarti penglihatannya agak kabur. Hingga tidak heran ketika Dewi Lukmini dari Toba hadir dia tidak mengetahui. “Sampai saat ini, putri bapak merasa terganggu atau merasa beruntung?,” tanya saya pada sang bapak karena anaknya tidak menjawab sapa saya.
“Kadang dia senang kadang ketakutan,” kata si bapaknya sambil membelai anaknya.
Saya pindah duduk di samping kirinya, sehingga sekarang dia kami apit.
“Mana yang tidak kamu sukai?,” pandangannya mengarah ke Nyai Srentini, siluman dari Toba ini datang dalam wujud aslinya, pusar ke bawah seperti ikan sidat dengan ujung ekor selalu bergerak-gerak. Tubuhnya seperti wanita biasa hanya tangannya yang tampak panjang tanpa busana, secara keseluruhan berwarna putih, hanya sebagian mukanya saja ada hitamnya, matanya seperti mata kadal yang selalu bergerak. Kalau menyeringai baru kelihatan giginya kecil-kecil tajam dengan lidah bercabang.
“Apakah mengganggumu?,” dia menggeleng.
“Apakah menakutkan?,” kali ini dia mengangguk.
“Ikuti ya, Assalamu’alaika ya ghaib, perkenalkan saya adalah cucu eyang Sekarjagad,” dia tidak terdengar menirukan, namun ada perubahan suasana. Mereka yang tadinya tidak bersahabat, terlihat ramah dan jinak, rupanya dia menirukan menggunakan telepati.
“Apakah sekarang ada yang menakutkan?,” dia menggeleng.
“Ada yang tidak kamu sukai ?,” sekali lagi dia menggeleng.
Sang bapak hanya melihat anaknya menggeleng sendiri, karena apa yang saya tanyakan tidak didengarnya, namun dengan isyarat, saya minta supaya tenang.
“Coba dekati mereka,” kata saya masih tanpa suara, dia langsung menuju ke singa itu, duduk bersimpuh dan mulai bercakap-cakap dengan penguasa hutan itu tanpa ada rasa takut sama sekali, wajahnya cerah.
“Dia sedang berbincang-bincang dengan salah satu mahluk ghaib,” kata saya pada sang bapak, itu membuat beliau merasa lebih rileks.
“Apakah dia biasa seperti itu?,” sang bapak mengatakan bahwa memang seperti itu, kadang bicara sendiri, kadang lari ketakutan.
( By – Romo Sidharto Haryo Pusoro )
In this article:

Click to comment