Tadi sore kebetulan mas Iwan Saga berkunjung ke Mabes, maka saya ajak diskusi tentang apa yang saya lihat. Begitu beliau “On”, tahulah apa yang saya maksud meskipun belum menemukan jawabnya.
Seputar Gunung Wilis secara rutin ada yang patroli mengitari, seekor ular hitam berkilat yang besarnya bukan alang kepalang, ini sudah lama terlihat. Kali ini ada yang aneh, dia tidak sampai puncak lalu turun dan mengitari lagi, frekuensinya lebih sering, seolah ada sesuatu yang mengggelisahkannya. Mendekati puncak Wilis sebelah barat terlihat goa di antara air terjun, aneh! Karena baru kali ini goa itu terlihat. Di depan goa, di tanah datar yang sempit terlihat seorang atau seekor, karena memang bentuknya mirip manusia namun wajahnya hitam seperti munyuk, bersila seperti bertapa menghadap ke arah matahari tenggelam.
Posisi meditasinya tegak sempurna itu menunjukkan kalau manusia, tubuhnya kurus tinggi, tidak pakai baju atas, hanya kain selutut. Tubuhnya di tumbuhi rambut berwarna abu-abu, matanya tertutup dan tidak bergerak sama sekali. Mulut gua itu kini terlihat, sebelumnya hanya tebing tertutup semak belukar saja. Saya perkirakan posisi seperti itu sudah berlangsung ratusan tahun. Yang menarik adalah di belakangnya berjarak sekitar 5 meter, ada seorang putri.
Kita mengamatinya dari arah Surabaya, Goa itu terlihat bersih dengan dasar yag landai, tidak terlalu besar cukup buat berdiri. Sang putri terlihat gundah, kulitnya tampak putih bersih, perhiasannya tidak banyak hanya kelat lengan dan kalung dari emas. Memakai kemben kuning muda dan yang menarik adalah jarik yang di kenakannya warna dasarnya coklat muda dengan motif parang Klitik kuning gading. Motif kain yang hanya di gunakan oleh orang tertentu di kalangan keraton Mataram. Motif tersebut hanya digunakan oleh putri keraton, motif yang diciptakan Panembahan Senapati ketika berada di pantai Selatan. Sedangkan kejadian ini terjadi di tlatah kerajaan Kediri. Pakaian sederhana namun terlihat rapi serasi membalut tubuh yang sujud sempurna menghadap sang pertapa. Entah sudah berapa ratus tahun dia bersujud seperti itu.
Setelah ditarik garis, kelihatan kalau sang pertapa adalah leluhur dari sang Dewi Kilisuci. Lalu siapa gerangan sosok beliau itu? Sepertinya beliau itu hidup dijaman kadewatan karena mirip-mirip wayang. Setelah saya dituntun jatayu, di perlihatkan jika beliau itu adalah nenek moyang leluhur dari Eyang Prabu Airlangga. Yang mana adalah raja dari kerajaan Mataram Kuno (Hindu) yaitu Mpu Sindok. Makanya corak yang di pakai sang putri adalah corak jarik dari Mataram Islam yang diciptakan Panembahan Senopati. Hal ini sedikit menguak misteri keberadaan Eyang Sindok.
Hubungan antara sang dewi dengan sang pertapa adalah sang dewi dari kerajaan Kediri dan pertapa dari Mataram Hindu. Setelah Mataram Hindu dari Jateng dipindah ke Jatim, ternyata di gunung Wilis. Akhirnya diteruskan oleh keturunannya yaitu Dharmawangsa yang kemudian di lanjut oleh menantunya Prabu Airlangga (dari bali) yang mendirikan kerajaan Kahuripan. Pada akhirnya Kahuripan terpecah menjadi 2, yaitu Kediri dan Jenggala karena anak permaisuri (cewek) tidak mau menjadi raja akhirnya yang dari selir meneruskannya (Kediri dan Jenggala). Ada garis lurus antara gunung Wilis dengan gunung Penanggungan.
Puncak gunung wilis dengan gunung Penanggungan adalah sama-sama membawa ajaran Hindu Syiwa. Pada jaman Airlangga, daripada ritual jauh-jauh ke Semeru, sama wong ngerti keraton yaitu mpu Barada, puncak Semeru diputus dan dipindah lebih dekat yaitu yang sekarang dikenal dengan gunung Penanggungan. Disitulah sang prabu Airlangga membangun pertapaan hingga akhir hayatnya (candi Belawan) yang terkenal dengan pemandian Jolotundo.
Bukan karena disengaja saya sampai ke Gunung Wilis. Awalnya karena dibawakan oleh-oleh air dari pancuran Jolotundo. Saat saya pegang untuk menyelaraskan energinya dan ingin mendeteksi kegunaannya, otomatis sukma terbang ke asal muasal air ini berasal. Bukannya ke sumber air Jolotundo, malah terseret ke gunung Wilis. Pertama terlihat ular hitam raksasa yang menggeliat dan mengitari gunung itu. Naik turun, namun begitu menanjak seolah terbentur atau menghindari sesuatu sehingga turun lagi, begitu berulang-ulang. Karena penasaran saya coba ikut naik, ternyata ada goa yang baru nampak setelah sekian ratus tahun ghaib. Sang ular tidak berani patroli atau melintas diatasnya. Saya lama mengamati dan heran karena semuanya diam. Pertapa itu memang seolah sudah tersadar dari semedinya, meski badannya tidak beranjak. Walaupun matanya masih terpejam, namun ekspresi wajahnya terlihat menikmati terpaan sinar matahari dari barat. Sedangkan sang putri yang jelita, memang dari semula tidak meditasi, dia dalam posisi itu tetap membuka mata.
Mulanya akan saya angkat sebagai dongeng seperti biasa. Namun belum jelas bagaimana menyampaikannya dan sulit menembus atau mengorek keterangan dari ketiganya. Saat itulah “Ndilalah kersaning Allah” romo Saga rawuh, maka saya antar ke sana untuk sama-sama melihat. Sepertinya, beliau yang mendapatkan petunjuk dari kejadian itu. Tentu saja setelah disuguhi kopi satu teko dan air mineral dua kardus.
By Romo Sidharto Haryo Pusoro dan Iwan Saga