Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 11

 

Setelah memberi hormat sambil senyum ke sosok tambun, beliau bergeser ke arah singasana. Hampir bersamaan Kanjeng Ratu dan Gusti Panembahan menjatuhkan diri dihadapan beliau.
“Suatu anugerah tak ternilai bagi seluruh lautan atas kehadiran Ki Ageng.”
“Kalian berdirilah,” suaranya halus sekali, selanjutnya beliau duduk di kursi yang baru di masukkan, posisinya di sebelah Eyang Sapujagad. Seluruh hadirin memberi hormat, yang dibalas santun oleh beliau. Setelah semua menghela nafas panjang, suasana kembali semarak, gamelan mulai lagi berbunyi dan upacara dimulai dengan hikmat sampai selesai dengan sempurna.
“Ki Lurah, pada kesempatan ini, mohon memberi sedikit wejangan pada kami,” suara Naga Permoni yang dalam terdengar oleh semua yang hadir.
“Lho, ada Ki Ageng yg waskita…”
“Jangan sungkan Ki Lurah,” kata Ki Ageng memotong.
“Ya ya ya….” kata beliau sambil menggeser duduknya agak ke depan. Hadirin serentak mengatur posisi duduknya senyaman mungkin sambil siap-siap mendengarkan pitutur sosok yang jadi panutan tersebutSuasana menjadi hening, bahkan penari dan waranggono juga duduk manis menunggu pitutur dari Ki Lurah.

 

 

“Karena disini telah berkumpul Ratu dari segala penjuru angin, maka akan saya ingatkan lagi petuah leluhur tentang bagaimana sebaiknya menjadi pemimpin yang baik. Gusti telah memberi contoh nyata yang bisa kita lihat sehari-hari, bagaimana caranya menjadi panutan.”
“Pertama “Tanah”, dia ditempatkan dibawah yang artinya menyangga seluruh kebutuhan rakyatnya, mendengarkan apa yang dikatakan rakyatnya, merasakan beban berat yang di pikul para petani, merasakan asinnya keringat yang menetes, dari situ dia akan bisa memahami rakyatnya, menentukan arah kebijaksanaan dan mengatur prioritas pembangunan desa. Tanah juga tidak memihak, mengasihi semuanya, rendah hati, tidak mudah tersinggung, menjadikan diri sebagai tumpuan yang kokoh.”
Ki Lurah melihat ke sekeliling, melihat wajah-wajah yg tertunduk seolah mereka sedang mengawasi diri sendiri. Ki Lurah tersenyum ketika disuguhi minuman daun sereh dengan gula kelapa, diminumnya seteguk, masih tidak ada yang bersuara, juga tidak ada yang bertanya.

 

 

“Kedua “Angin” Seorang pemimpin haruslah selalu dirasakan keberadaanya dekat dengan masyarakat, membuat nyaman dan juga disegani, karena watak angin bisa lembut bisa keras. Ada yang membahasakan sebagai “Gusti kang Katon” atau Tuhan Yang terlihat, karena seolah ada dimana-mana dan mengetahui apa saja yang dilakukan rakyatnya, siap memberi anugerah dan hukuman dengan adil. Pemimpin memberi perlindungan agar hal-hal buruk dari luar tidak masuk mempengaruhi rakyatnya, juga membuang jauh-jauh pengaruh buruk yang timbul dimasyrakat agar tidak meluas atau mempengaruhi orang yang lain. Menggiring agar pengaruh baik bisa menyebar merata, baik itu kepercayaan atau pengetahuan.”

 

“Ketiga “samudera atau Air” Pikirannya harus dijaga agar tetap jernih dan menyadari bahwa tugas yang di embannya adalah amanah dari Hyang Widi, sebagai wakil Tuhan.Maka dengan sujud sempurna dia akan tetap “Eling”.Air akan mengurai permasalahan yang pelik, membereskan permasalahan dan sengketa, melenyapkan gangguan menjernihkan hati dan pikiran di masyarakat dengan siraman rohani, tenang dan tidak mudah dihasut.Sebagai sumber kebajikan yang bisa mencerahkan dan membuang jauh-jauh keburukan, ibarat air dari sumber yang bening akan berkelok menyusuri tempat-tempat kotor untuk dibuang jauh-jauh ke samudera dan tetap akan kembali sebagai sumber yang jernih.”

 

“Kamu ikuti Kanjeng Ratu,” suara itu mengejutkanku yang sedang asyik mendengar pitutur luhur Ki Lurah, saya kenal suara itu. Maka begitu saya menengok ke sosok lelaki tua yang terakhir datang, beliau mengangguk pelan, tidak ada yang memperhatikan, bahkan ketika saya melihat Ki Lurah, beliau berkedip seolah mengisyaratkan hal yang sama. Maka pandangan saya beralih ke Kanjeng Ratu dan Panembahan, mereka terlihat duduk dengan khidmad menyimak wejangan Ki Lurah.
“Segeralah,” terdengar sekali lagi suara halus beliau, membuat tersentak dan bimbang apa yang harus dilakukan, bukankah beliau berdua masih ada di singgasana, bukankah mereka belum beranjak kemana-mana.

 

 

“Di Istana wetan,” kali ini suara itu terdengar lebih anteb, begitu saya lirik, ternyata benar Ki Lurah yang mengirim Aji Pameling, maka segera saya bergegas meninggalkan balairung kembali ke dalam istana. Benar juga, sekelebat masih terlihat Panembahan dengan Gusti Ratu berbelok ke timur.
“Aji pecah raga yang sempurna,” gumam saya merasa bodoh sekali. Lupa bahwa bagi beliau berdua kemampuan ini tidaklah istimewa. Lorong itu cukup panjang sehingga terpaksa merapal Ajian Kidang Kencana supaya tidak kehilangan jejak, melesat bagai busur terlepas dari gendewa dan berhenti sejenak di perempatan. Terlihat di kejauhan mereka berjalan bergandengan dengan mesra, tidak terlihat tergesa-gesa seolah menikmati saat-saat terakhir kebersamaan di dasar samudera.

 

Saya ingat perempatan ini, kalau ke barat akan sampai ke istana Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Nyi Pandan Suri koordinator tuyul dan segala macam hewan pesugihan. Sedang kalau ke timur sebaliknya, termasuk gandok Kanjeng Ratu ada disebelah timur. Untuk mengikuti agar tidak sampai menimbulkan gelombang udara, saya menggunakan ilmu Maling Cluring (ilmu ini sekilas saya turunkan saat pelatiahan massal II di TMII, yakni cara menembus benteng tanpa terdeteksi bisa melalui udara atau cahaya). Ilmu ini memungkinkan bisa bergerak leluasa, bila di air akan menyatu dengan air, melalui udara atau angin akan menyatu dengan udara bahkan menyatu dengan warna yang ada, level lebih tinggi apabila bisa menyatu dengan api dan tertinggi bisa menyatu dengan tanah. Mengikuti beliau berdua kali ini memang harus jarak dekat karena sudah terlihat gerbang besar berwana kuning emas. Aroma kembang melati menyebar dari tubuh sang putri sedang dari tubuh Panembahan memancarkan aroma cendana yang lembut.

Mendekati gerbang, penjaga tetap tegak dengan cundrik berkilat terhunus di tangan, entah rapalan apa yang gusti putri baca, serentak para penjaga bersimpuh hormat sambi salah satunya mendekati pintu gerbang membisikkan sesuatu di patung naga. Seperti menggeliat malas setengah putaran maka gerbang itupun terbuka. “Mohon maaf Kanjeng Panembahan,” kata saya dalam hati sambil menyusup ke rangkaian melati penghias pusaka sang Panembahan.

Tepat waktunya, karena begitu melangkah ke gerbang, terasa sentuhan panas dingin menyentuh kembang melati “Untung saja tidak terkena pagar.” Berselang sekitar 5 langkah terlihat pintu gerbang berwarna biru safir. Sewarna busana Kanjeng Ratu. Kembali beliau menggumamkan mantra dan gerbang itu terbuka. Kali ini saya harus menyelinap berlindung diantara warangka dan pendok agar lebih aman. Tidak terasa apa-apa hanya seolah badan membeku, tidak tahu apa yang terjadi, terasa beliau melanjutkan perjalanan terasa suasana hening, karena penasaran saya coba mengintip, hanya terlihat gerbang bercahaya kuning.

Mendekati gerbang itu Kanjeng Ratu membimbing sang Panembahan untuk berlutut, sambil komat kamit agak panjang barulah gerbang ketiga ini terbuka, sama dengan gerbang kedua, di sinipun tidak ada pengawal, beliau berdua berdiri dan mulai melangkah masuk, tidak terasa apapun, biasa saja, bahkan terkesan nyaman, maka karena tidak ada bahaya saya beranikan keluar, tetap sambil merapal ajian Maling Cluring dan selalu berlindung di bayangan sang Panembahan.

“Inikah harta Kanjeng Nabi Sulaiman yang di jaga oleh Kanjeng Ratu?,” tanya saya dalam hati melihat padang luas dengan kilauan emas permata bewana warni. Seolah tidak menghiraukan emas raja brana, Panembahan yang sedari tadi digandeng mengikuti saja kemana di arahkan. Langkah kaki mereka terdengar bergemerincing jelas ditempat yang sunyi sepi itu, entah apa yang di injak, sebagai sukma, saya tidak merasakan sentuhan apapun.

 

Sebuah tiang besar kira-kira diameter 2 meter, beliau berhenti dan melepaskan pegangan pada Senapati. Kedua tangan Kanjeng Ratu di lekatkan di dinding tiang itu. Tidak lama berselang, seolah-olah ornamennya hidup dan terbukalah tiang tersebut, udara dingin menyeruak dari dalam. Berjajar rapi aneka benda pusaka, mustika dan entah apalagi. Tidak lama, di kedua tangan beliau sudah tergenggam 2 benda berkilau. Kembali beliau komat-kamit, maka kilauan pun redup dan hilang. Sebutir telor berwarna putih salju di tangan kanan dan sebuah cupu berbentuk seperti gada dari batu hijau ditangan kiri. “Telor Lesung Jagad dan minyak Jayengkaton, ternyata tersimpan disini,” kata hati saya. Tidak ada yang menarik lagi, cepat saya sembunyi di balik pendok. Sesampai diluar, kali ini saya merasa tidak enak kalau mengikuti mereka ke dalam pondok dan memilih kembali ke balairung. Ternyata ular-ular Ki Lurah telah selesai, beliau melihat sekilas ketika saya masuk.

 

“Kembalilah ke Klampis Ireng,” kata beliau menggunakan aji Pameling kali ini saya bergegas. Setelah pamit pada Ki Ageng. Sunan Kadilangu terlihat berdiri di pantai Parangtritis, matanya terpejam tidak bergerak namun terlihat kalau semua inderanya bersiaga.
Dengan ini saya tutup episode pertama dongeng “Oleh-oleh dari Padepokan Klampis Ireng”.

 

By Romo Sidharto Haryo Pusoro

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »