“Setelah bersuci beliau duduk bersila di lantai kamar pengantin, tak lama kemudian mengalunlah lafadz Allah lirih dari beliau. Hal seperti ini berlangsung juga untuk keesokan harinya sampai semalam suntuk, dan bertekat untuk menjalankan dalam waktu 40 hari. Pada hari ketiga terjadilah peristiwa yang mengejutkan, ketika sedang wirid tepat di samping kelambu istrinya, tiba-tiba Panembahan Senopati melihat seorang pria dalam kelambu itu.” Ki Ageng menghentikan lagi kisahnya, sejenak kemudian mengambil cangkir didepannya lalu memuinumnya agak gugup, saya melihat tangannya agak gemetar.
Ternyata cerita ini begitu berpengaruh padanya. “Apakah dia Jaka Manggala adik Dewi Sri Pohaci Ki Ageng?”
“Benar kisanak,” jawab beliau dengan telepati sehingga yang lain tidak mendengar.
Suasana hening, seolah-olah yang hadir turut berdebar-debar menunggu kelanjutan ceritanya, saya lihat Ki Ageng sudah mulai tenang, tangannya tidak lagi gemetar seperti tadi. “Banyak yang hadir disini Ki,” bisik saya pelan. Sesaat beliau mengamati sekitar dengan teliti. Lalu tiba-tiba mengaturkan sembah ke selatan, murid-murid yang berkumpul disitu jadi semakin bingung, karena ketika dilihat kearah mana gurunya menuju, yang ada hanyalah kepekatan malam. Diantara sekian banyak mahluk ghaib yang berdatangan untuk turut mendengar kisah ini, ternyata ada sosok lelaki tua, badannya agak tinggi, pakaiannya lusuh maski tidak bisa menyembunyikan tubuh yang terlihat begitu kuat. Memegang tongkat kayu warna coklat tua setinggi badannya. Beliau hanya mengangguk sedikit ketika saya mengangguk kepada bellau sambil mengucap salam.
“Mengapa beliau tidak mau datang ketika saya undang kisanak?.”
“Beliau memang begitu Ki, tidak ada yang bisa mendatangkan, juga tidak ada yang bisa mencegah.”
“Summa illa khadroti khususon Nabi Khidir AS yaumul fatihah…,” ucap beliau agak keras yang mengagetkan murid-muridnya yang dengan spontanitas lalu membaca fatehah.
Seperti mendapat kekuatan baru, Ki Ageng melanjutkan ceritanya.
“Melihat keberadaan sosok lelaki di dalam kelambu istrinya yang mengaku bernama Cinde Maya, Panembahan Senopati masih terus wirid, sambil berpikir keras, siapa lelaki itu bisik suara hati Panembahan.”
“Sesunguhnya apa yang terjadi?”
Ternyata Jaka Manggala yang bersemayam di dalam gua garba kakaknya tidak kuat lagi menahan panasnya energi yang keluar dari setiap ayat Qur’an yang diwiridkan oleh Panembahan Senopati.
“Apakah ini wujud asli istriku, ataukah secara sembunyi-sembunyi dia memasukkan lelaki?,” Panembahan tidak sadar kalau pemikirannya itu membuat nada dalam wiridnya tersendat sehingga panasnya energi yang terpancar menjadi tersendat pula. Waktu yang hanya sepersekian detik itu telah cukup untuk membebaskan Jaka Manggala dari siksaan hebat. Dengan cepat dia melompat keluar dan berkelebat cepat sekali, disaat yang bersamaan Panembahan yang tersadar juga melesat, keduanya seolah tidak terhalang tebalnya dinding istana, namun selisih waktu sekejab, telah membuat jarak yang terlalu jauh, hingga tidak mampu terkejar.”
“Luar biasa kesaktiannya,” begitu gumam Panembahan sambil melangkah cepat ke dalam istana, sesampai di kamar ternyata kosong, istrinya Cinde maya sudah tidak ada.”
Panembahan Senapati sangat terpukul dengan kejadian yang baru saja dialami, beliau duduk termenung di pembaringan, harum kembang setaman masih semerbak, namun tidak bisa menenangkan hatinya.
“Tok” ada ketukan satu kali, pelan sekali dari arah pintu, dengan lunglai beliau membuka pintu, di situ sudah ada dayang yang bersimpuh sambil menghaturkan sembah.
“Mohon beribu ampun telah mengganggu sinuwun.“
“Ada apa mbok?.”
“Maaf, di pendapa ada tamu yang bersikeras ingin menemui sinuwun.“
“Siapa?”
“Seorang ulama…,” belum selesai menyelesaikan ucapannya, Panembahan sudah bergegas menuju pendapa.
Begitu tahu yang ada di situ, beliau langung duduk brsimpuh dihadapannya. Ya, yang datang adalah Sunan Adilangu, putra Sunan Kalijaga, setelah saling sapa dan salam maka berkatalah Sunan Adilangu
“Saya melihat semuanya Panembahan.”
“Terimakasih, mohon tanya, apakah seperti ini memang sudah menjadi suratan?.”
“Ya.”
“Apakah berarti saya tidak bisa lagi menemui istri saya?.”
“Bisa.”
“Siapakah sesungguhnya dia Kanjeng Sunan?,” karena melihat kesedihan yang begitu mendalam, Sunan Adilangu pun tidak lagi bisa menyimpan rahasia. Maka diceritakanlah semua tentang Cinde Maya yang nama aslinya adalah Dewi Sri Pohaci dan yang lelaki itu adalah adiknya. Mendengar penuturan itu, Panembahan Senopati merasa terharu dan semakin kuat keinginannya untuk menemukan istrinya.”Bilamana saya bisa bertemu diajeng kanjeng Sunan?.”
“Tiga purnama lagi, temui saya di Pantai selatan,” demikian Sunan Adilangu memberi pesan lalu pamit pulang untuk memberi laporan kepada para wali.
Sesungguhnya apa yg terjadi pada Cinde maya atau Dewi Sri Pohaci? Pada saat adiknya tiba-tiba muncul dihadapannya, dia kaget bukan kepalang, dadanya berdetak keras, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Sesaat kemudian begitu adiknya melompat keluar kelambu dan lenyap di balik tembok yang disusul oleh Panembahan Senapati yang sangat dikagumi dan dicintai. Tempat peraduan yang diduduki serasa amblas, langit-langit seolah runtuh, hancur sudah harapan yang terpendam ber-abad lamanya.
Tidak ada keberanian untuk bertemu dengan Panembahan Senopati, malu luar biasa karena kejadian ini, maka begitu mereka hilang dibalik tembok. Dengan sembunyi-sembunyi Dewi Sri Pohaci pun lari dari istana, lari terus ke selatan sambil berlinang air mata, konon suara tangisnya seperti perpaduan tawa dan tangis, memilukan sekali. Hingga sampailah dia di bibir jurang pantai selatan dan sudah bertekat bulat untuk mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri di ganasnya laut selatan. Begitu kakinya menjejak tanah untuk melompat, ada tangan yg menekan pundaknya, halus namun begitu kuatnya, sehingga tenaganya seolah tersedot habis. Maka diapun bersimpuh ditepi jurang sambil terus menangis. Seorang lelaki tua berdiri dengan tenang dibelakangnya. Rambutnya kemerahan dan ikal seperti rambut jagung, terlihat berderai dibawah surban coklat tua yang dikenakan, badannya agak tinggi dan tegap, sebuah tongkat kayu dipegang dengan tangan kirinya, memakai jubah kusut sebatas lutut dan celananya panjang seolah menutupi telapak kakinya.
“Apakah beliau nabi Khidir AS guru?,” kata murid ki Ageng Selo.
“Benar, beliau yang tadi juga ada disini.”
“Monggo Ki ageng,” sela saya tidak sabar
“Dewi Sri Pohaci masih bersimpuh, lama suasana seperti itu berlangsung, langit mulai memerah pertanda sebentar lagi akan gelap, ketika isak tangis mulai mereda, bertanyalah nabi Khidir As kepadanya.”
“Apa yang akan kamu lakukan?,” suaranya dalam namun menenangkan, bukannya menjawab, malah tangisnya seolah-olah meledak, Nabi Khidir AS sekali lagi terdiam untuk beberapa lama.
“Aku akan mengakhiri hidupku Kyai,” begitu jawabnya di sela-sela tangisannya.
“Kenapa?”
“Saya malu pada suami, malu pada seluruh kawulo Mataram, saya tidak bisa lagi menatap mereka Kyai, mohon ijinkan saya mengakhiri penderitaan ini.”
“Kau siapa?
“Dewi Sri Pohaci Kyai.”
“Statusmu?”
“Saya istri Panembahan Senapati.”
“Apakah dia mengusirmu?,” Dewi menggeleng.
“Dia menceraikanmu?,” sekali lagi Dewi menggeleng
“Apakah kau sungguh ingin berbakti kepada suamimu?,” ditanya seperti itu Dewi makin kesenggukan
“Apakah mungkin Kyai….tapi tidak, saya tidak akan berani menjumpai sinuwun, saya melakukan aib yang tak terampuni.”
“Tidak ada yang salah Dewi, semua sudah menjadi kehendak Allah SWT.”
“Maaf kyai, saya tidak ingin kembali ke keraton.”
“Kalau Sinuwun datang menjemputmu?”
“Ijinkan saya tetap berdiam disini.”
“Baiklah, akan kubuatkan Istanamu di sini, dikedalaman laut selatan, dan akan kumohonkan pada Allah SWT agar engkau bisa hidup di dua alam, bagaimana menurutmu?”
“Terimakasih tak terhingga Kyai, saya bersedia.”
“Baik, namun ada tugas yang harus kau emban, jagalah harta harta Nabi Sulaiman, dan awasilah seluruh pantai selatan dari kulon sampai wetan, kau bersedia?”
“Saya bersedia Kyai.”
“Sekarang menghadaplah ke laut, berdirilah.”
Nabi Khidir pun memohon kepada Allah, agar Dewi Sri Pohaci dikaruniai kesaktian untuk bisa hidup di dua alam yaitu alam nyata dan alam ghaib, juga bisa hidup di darat maupun di air, sebagai penguasa wilayah yang luas, dimohonkan juga kesaktian untuk bisa mengendalikan semua mahluk yang ada di daratan, perairan, alam ghaib di darat dan alam ghaib di dalam air. Seketika itulah Dewi Sri Pohaci berubah wujud dan berubah pula busananya.
“Terimakasih Kyai, bolehkah saya tahu siapa panjenengan.”
“Aku hamba Allah SWT seperti engkau juga, sekarang engkau bisa melihat, siapa saja yang ada di sini.”
Ternyata baik di lautan maupun di daratan, penuh dengan sosok ghaib.
“Siapakah mereka Kyai?”
“Saya Sekarjagad dari merapi kanjeng Ratu,” sosok, tinggi agak kurus mendekat memperkenalkan diri, jubahnya serba putih, jenggotnya agak panjang namun tidak terlalu lebat.
“Terimalah hormat saya Ki ageng.” balas Dewi hormat.
“Saya penunggu Gunung Lawu kanjeng Ratu,” yang memperkenalkan diri, sosoknya kurus tidak terlalu tinggi, celananya sebawah lutut warnanya hitam kusam, kumis dan jenggotnya jarang-jarang, kulitnya sawo matang, suaranya lantang namun sopan.
“Kiageng Lawu, terimalah salam hormat saya.” sahut Dewi Sri.
“Beliau berdua, bertiga dengan Kanjeng Ratu akan menempati wilayah yang tidak saling bersentuhan tetapi sama-sama bertugas menjaga ketenteraman rakyat dan keraton Mataram,” begitu Nabi Khidir AS menegaskan, mereka bertiga mengangguk hormat.
Masih banyak yang memperkenalkan diri, setelah semuanya bertegur sapa, Dewi Sri Pohaci menebarkan pandangannya ke lautan.
“Saya Sapu jagad Kanjeng Ratu,” yang menghadap dari arah laut adalah sosok yang tubuhnya sedang, berpakaian resi.
“Saya Naga Permoni Kanjeng Ratu,” suara itu berasal dr sosok naga yg berwarna hitam legam mengkilat, selanjutnya ada Naga Angkasa yang berwarna putih, Naga Gini yang berwarna hijau dengan warna kekuningan di bagian bawah, Naga Bumi yang warna kulitnya mirip.
“Mereka adalah penjaga-penjaga harta dan perairan pantai selatan yang akan menjadi panglimamu, masing-masing memiliki 700 ribu pasukan. Disamping itu masih banyak yang akan membantumu menjalankan tugas yang mulia ini.”
“Terima kasih Kyai, saya mohon diberi peringatan apabila melakukan kehilafan.”
“Sudah aku persiapkan Istana di dasar samudera, dimana harta Nabi Sulaiman disimpan, pergunakanlah dengan bijaksana,” Dewi Sri mengangguk dengan haru.
“Ada lagi pesanku, 3 bulan purnama lagi, bersiaplah untuk kedatangan tamu.”
“Siapa Beliau Kyai?,” yang ditanya hanya tersenyum tipis kemudian lenyap diikuti oleh sosok ghaib di daratan yang juga mulai hilang satu persatu setelah membungkuk hormat.
“Kanjeng Ratu, mari saya antarkan menuju istana,” suara ni berasak dari 2 wanita cantik dengan busana serba hijau yang terlihat halus namun gerakannya begitu cekatan ketika mendekatkan kereta kencana yang ditarik 9 kuda.
Bulan masih bersinar terang, begitu terangnya sehingga semuanya terlihat jelas, sedangkan gemuruh ombak pantai selatan yang ganas tidak juga mereda. Dewi Sri Pohaci yang busananya sudah berubah menjadi berwarna hitam bludru dengan sulaman benang emas, jarik batik, bermahkotakan emas tersusun 3 dengan dihiasi batu permata, ada 5 buah permata yang menyolok karena warnanya, paling depan berwarna biru gemerlap keunguan, selendangnya warna hijau muda dan hijau pupus agak kekuningan dan menggenakan perhiasan emas bermata permata merah dan biru. Ada yang aneh dair semua perhiasan yang beliau kenakan, yaitu kelat bahu berbentuk ular, di bagian kepalanya, tepatnya bagian mata terbuat dari mirah delima dan seolah-olah hidup karena seperti posisinya bisa bergeser.
Dengan anggun beliau menaiki kereta kencana, gambaran kereta kencana yang menjemput, tutup atasnya menyerupai kubah, mirip mahkota raja, warna kuning emas ada hiasan lansip diatasnya, dengan hiasan permata ke-8 penjuru, hanya untuk satu orang, dengan sasis di depannya terpisah agak jauh. Kesembilan kuda yang menarik kereta berwarna warni. Secara keseluruhan kereta ini panjang, meskipun tempat duduk utama hanya untuk satu org.
Kereta mulai bergerak, tidak langsung terjun ke laut melainkan berbelok kekiri, sedikit menaiki tebing lalu turun ke arah pantai, pasirnya warna kelabu. Sejenak kereta berhenti di pantai, memberi kesempatan sang Dewi untuk mengamati pintu gerbang istananya, bentuk berbangnya seperti pintu masuk ke candi Prambanan, di kiri kanan ada sosok menyerupai buto/raksasa dengan bersenjatakan gada, warnanya keputihan dengan hiasan kuning emas, pakaiannya mewah meskipun bertelanjang dada. Itulah gerbang pertama masuk ke keraton kidul, saat kereta hendak melewati, mereka berdua berdiri dengan sedikit membungkuk hormat. Masuk terus ada jalan lurus seolah masih di atas air, kira-kira 200 meter jalan agak menukik dan kereta dipacu kencang. Lalu berhenti di sebuah mulut benteng. Di pintu gerbang, penjaganya ada berlapis-lapis, umbul-umbul berkibar berwarna warni, tertancap di sepanjang benteng istana. Benteng tersebut tingginya sekitar 4 meter. Terbuat dari tembok dengan bebatuan yang menonjol disana sini. Disini Dewi sengaja turun untuk melihat lebih teliti, semua yang ada langsung bersujud begitu Dewi menginjakkan kaki di dasar samudera.
Kalau gerbang pertama terbuat dari bebatuan warna hitam kecoklatan, maka gerbang kedua dari tembok putih dengan pilar-pilar seperti marmer. Juga ukirannya halus bercorak kuning emas. Setelah mengamati, beliau dipersilahkan naik lagi, maka berjalanlah kereta perlahan menyusuri jalan lapang. Dengan hamparan rumput hijau dan beranekan macam tumbuhan hias. Disepanjang jalan masuk ke kraton, seluruh penjaganya yang terlihat adalah wanita. Berbusana hijau, dengan selendang warna kuning. Di sebelah kiri terhampar rumput luas dan di ujung sana terlihat beberapa istana kecil beratap kuning. Sedang disebelah kanan, setelah padang rumput, terlihat karang-karang terjal menjulang keatas. warnanya putih kecoklatan. Kereta berputar kekanan sedikit lalu berhenti, Dewi turun dari kereta yang selanjutnya bergerak menjauh.
Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 6