”Selamat tinggal. Gusti Prabu, hamba berangkat kembali ke Kerajaan Jin dikayangan. Besok lima ratus tahun setelah hari ini saya akan datang kembali di tanah Jawa untuk menyebarkan dan memperkembangkan agamaku, Budi atau Buddha. Waktu itulah tibanya zaman Majapahit kedua atau zaman Majapahit yang penghabisan, yaitu zaman silamnya Perahu Gabus dan mengambangnya Batu Hitam (hilangnya zaman feodal dimana tingkat manusia semaunya sama. Red).
Sebelum waktu itu maka terlebih dulu Nusa Jawa akan diinjak Kerbau Bule (Kebo Putih) selama 44 windu. Larinya Kerbau Bule karena datangnya Satrya Kuning Cebol Kepalang (pandak), yang akan melepaskan Kerbau Edan ini akan menyerang Kerbau Bule setelah dari jurusan timur nampak warna, merah menyinsing karena bangunya Satya Putih Kuning yang berdarah merah.
Sampai disitulah Kerbau Bule pulang kandang. Besok timbul Ratu Kembar yang sama Bagusnya, Ratu Selawe yang sama berpengaruhnya. Susahnya orang jujur, gembiranya orang curang. Perselisihan paham makin menjadi-jadi, huru hara merajalela, bencana alam meradang. Gunung-gunung api meletus mengeluarkan lahar, bengawan-bengawan bergeser dan meluap begitu rupa. Bahaya Air dan api datang bersilih ganti. Angin topan, tanah longsor, bahaya kelaparan dan wabah penyakit menjadi-jadi.
Dalam perkembangan zaman yang sedemikian itu aku perintahkan anak cucuku, yaitu segenap manusia yang berada di nusa Jawa, supaya berlaku jujur, tenang, sabar takwakal, awas dan waspada. Karena kedatangku bakal bersamaan dengan datangnya Ratu Adil yang akan mengadili barang siapa yang melanggar perikemanusiaan, menggilas-gilas hukum negara, merampas hak milik orang lain, memeras, merampok, menggedor, memperkosa, makan suap, membunuh atau mematikan pencaharian hidup orang lain dan lain-lain perbuatan sewenang-wenang yang melanggar dan menentang kehendak kodratullah dan kehendak Sang Hyang Agung. Sadarlah siapa yang ingin sadar dan pencayalah siapa yang ingin percaya….”
Suara Sabdopalon ini makin tinggi di angkasa dan bergema begitu rupa untuk sementara akan kemudian lenyap. “Nyatalah Sabdopalon terlah sirna, kaki disinilah aku ingin memberi tanda (tenger. Red).” Sang Prabu segera memberi tanda diatas batu tadi.
Setelah membuat tanda maka Prabu Kertabumi bersama Noyogenggong segera melanjutkan perjalannya yang makin jauh dan maij gelap dan main gelap itu.Dengan adanya tanda yang dibuat oelh Prabu Kertabumi tadi, maka gunung itu segera dikenal dengan nama Tenger (tanda), yang lambat laun menjadi Tengger.
(By Danny Aja II)
