Lewat tengah malam saya membakar dupa banyak lebih banyak dari biasanya. Karena hampir semua jenis dupa yang ada saya ambil sebatang, hingga ruangan meditasi penuh asap harum. Satu persatu ghaib datang, namun tidak jadi menikmati asap dupa karena melihat muka saya masam tidak ramah, juga tidak mempersilahkan. Hingga yang hadir sekejab lalu lenyap, saya seolah-olah tidak menghiraukan meski yg datang silih berganti. Bahkan ketika Eyang Sekarjagad rawuh, saya tetap diamkan saja. Begitu pula ketika Kanjeng Ratu dan rombongan hadir, saya tidak menyambut juga tidak mempersilahkan, maka beliaupun berlalu. Tidak ada yang marah atau tersinggung. Saya ambil lagi dupa dari lemari, dupa-dupa kiriman adik dari Bali. Maka aroma cendana kuat sekali. Sampai kedalam rumah, anak istri tidak ada yang koment. Mereka diam saja meskipun tidak seperti biasanya.
Saya memang sedang menunggu, karena tidak juga hadir.maka bungkusan kembang 7 rupa dan “cok bakal” saya buka di nampan lalu dikitari dengan bunga tabur. Masih juga tidak datang. Maka saya taburkan minyak fambo ketengah-tengah 7 kembang kantil kuncup yang ada daunnya. Saya tidak tersenyum meski sosok tambun terlihat remang-remang diantara kepulan asap dupa, tidak seperti yang lain, beliau enjoy saja tidak beranjak dari tempatnya.
“Kenapa harus dengan cara seperti ini?”
“Karena saya tidak sanggup menghadirkan panjenengan,” kata saya sambil tetap pasang muka masam.
“Katanya maha pengasih, maha penyayang, nyatanya pilih kasih,” beliau tidak menanggapi omelan saya.
“Semua demit jin peri kayangan bisa melihat manusia, kok manusia tidak bisa melihat mereka,” masih juga beliau berdiam diri.
“Sekarang banyak orang kena santet, kesurupan, kyai ustadz sampai mandi keringat kuwalahan. Karena tidak bisa melihat yang nyusupi. Begitu dibilang mahluk paling sempurna,” tetep saja tidak ditanggapi.
“Gusti itu tidak sungguh…..”
“Hus!,” teguran halus beliau menghentikan ocehan saya.
“Kamu itu yang tidak mengerti,” kata beliau sepeti marah tapi nadanya datar saja.
“Apa jadinya bila manusia diberi kemampuan seperti jin?”
“Tak obrak abrik semua sarang demit yang suka mengganggu manusia,” kata saya disambut tawa beliau.
“Katanya manusia derajadnya lebih tinggi, kesurupan demit saja kliyengan kayak orang edan, bisa dikendalikan leluasa oleh setan. Dimasukin benda sama demit mlembung, boro-boro melawan atau mengalahkan, modar iya,” kata saya sambil tetap bersungut2 sambil menambahkan candu ke dupa, tanpa melihat kearah beliau. Malam itu memang saya benar-benar ngambek.
“Katanya lebih segala-galanya, nyatanya untuk bisa sekedar melihat jin saja kok ya susah amat, harus puasa, dzikir wirid ribuan kali, tapa brata gak makan gak minum, berendam disungai berhari-berhari, gitu saja belum tentu bisa, padahal kan itu makhluk yg katanya derajadnya dibawah manusia, harusnya mereka yang kesulitan melihat manusia, bukan sebaliknya, harusnya mereka yg bisa kita perdaya atau kita permainkan, bukan sebaliknya,” saya melirik sedikit ke arah beliau, tetap berdiri melihat ke langit-langit, saya khawatir kalau beliau pergi.
Beliau melihat kearah ku, “Apa benar ada mahluk ghaib/setan bisa membunuh manusia?”
“Lha yang mati kesantet itu apa bukan kerjaan demit?”
“Kalau mahluk ghaib demit, setan bisa membunuh manusia, sudah dari dulu semua manusia baik dibunuh, toh sudah pasti mereka jadi penghuni neraka, tidak takut lagi dosa. Biar tinggal yang rusak-rusak saja yang hidup, biar penuh neraka. Tidak perlu susah payah pakai muslihat atau bujuk rayu,” untuk sesaat saya diam.
– Sumber : Romo Sidharto Haryo Pusoro
NB : ini hanya dongeng, jangan dipercaya apalagi di cari kebenarannya.
