Perjalanan dari kampung ke Surabaya ketika baru setengah jalan lalu ada telepon masuk.
“Kapan pulang ke surabaya?,” nada wanita dari sana.
“Ini sudah di jalan,” jawab saya.
“Apakah bisa mampir sebentar?,” lanjutnya.
“Bisa,” kata saya.
“Saya tunggu di depan polsek ….”
“2 jam lagi saya sampai sana,” jawab saya sambil menutup telpon.
“Joe, apa garamnya sudah di masukkan?”
“Sudah pak,” jawabnya sambil ngantuk.
“Ga, apa bawa kol buntet?”
“Bawa pak, jawabnya sambil tetap fokus mengemudi”
“Sepertinya nanti ada kejadian yang menarik,” kata saya sambil istirahat.
Nyonya tidak komentar, hal seperti ini sudah tidak mengherankannya.
Lalu sampailah kami di sebuah rumah di perkampungan yang padat, ada 5 penghuni rumah yang lumayan besar itu. Seorang wanita muda yang tadi menelpon dengan suaminya yang pakai tongkat karena habis kecelakaan, anaknya yang kelas 1 SD, omnya yang setengah lumpuh dan ibunya yang baru di bawa ke kyai untuk berobat.
“Rumah ini bulan kemaren sudah dibersihkan oleh kyai dan santri-santrinya. Juga telah dilakukan rukyah untuk mengusir roh jahat yang ada di dalam tubuh kami,” kata wanita muda itu yang sepertinya. Hanya dia satu-satunya yang bisa kami ajak bicara, yang lain hanya diam mendengarkan.
“Mbak, tolong antar anak saya melihat-lihat seisi rumah,” kata saya
“Takut pak,” saut ibu itu dengan sedikit ketakutan.
“Anak saya juga dukun, tenang saja, biar dia yang di depan,” maka diapun mulai ngekor Wisanggeni Junior.
“Lantai atas juga,” kata saya.
“Tidak ada lantai atas pak,” jawab ibu itu.
“Tangga ke lantai atas,” saya ulangi supaya lebih jelas, dia mengangguk, mungkin heran juga, bagaimana saya tahu kalau di dalam rumah ada tangga menuju lantai atas.
Ketika kembali, saya lihat mbak itu masih ngekor anak saya.
“Bagaimana?,” tanya saya kepada anak saya.
“Menarik pak, kamar depan nanti yang kita bersihkan belakangan,” katanya mantap.
“Mbak, pak, ciri kalau rumah sudah bersih dari mahluk ghaib adalah udaranya yang segar serta perasaan nyaman di semua ruangan, sekarang seolah-olah udara tidak bisa masuk, gerah dan pengap,” imbuh saya
“Apakah setelah di bersihkan kemaren udara bisa masuk dan rumah jadi segar?” tambahku lagi.
“Tidak ada perubahan pak,” jawab si ibu.
“Lalu apa yang mereka bersihkan?.”
“Pak Kyai-nya begitu masuk ruang tengah, lalu keluar, beliau hanya di teras tidak mau masuk lagi, jadi santri-santrinya saja yang di suruh masuk.”
“Nanti setelah kami bersihkan, coba dirasakan perubahan suasana dan udaranya.” Kemudian mereka saya minta kumpul di ruang tamu, dan berpesan jangan keluar dari garis yang saya buat, selama proses pembersihan.
Sampai diruang tengah, saya tertegun melihat lukisan yang terpampang ditembok, hanya sekilas kemudian pandangan saya alihkan dan mengajak anak saya duduk di lantai, tepat dibawah lukisan.
“Kita ajak teman-teman saja supaya cepat kelar, karena terlalu banyak, capek kalau ngambilnya satu-satu,” kata anakku.
Maka Wisanggeni duduk di dekat saya, dikeluarkannya kol buntet lalu ditaruh di depan kami. Sasaran pertama adalah tempat sholat, seperti diketahui, tempat itu menjadi lokasi favorit persembunyian demit.
Belum sempat saya kontak murid-murid, eyang Sekarjagad di lapis pertama supaya turun, sosok tinggi besar gagah dengan pakaian seperti pangeran sudah hadir, “Raden Wisanggeni” ternyata yang momong anak saya sudah hadir sebelum dipanggil. Selanjutnya, kami hanya menonton pertunjukan, ada yang dijewer, ada yang ditendang, ada yang langsung dilempar masuk ke kol buntet.
Saya cuma pesan supaya kamar depan di lewati, juga arwah supaya di biarkan saja, menangani arwah sebaiknya kami lakukan sendiri. Agak lucu ketika melihat “Raden Wisanggeni” dibuat jengkel dengan lukisan itu, seolah-olah ghaibnya tidak habis-habis diambil. “Biar kami yang membereskannya,” kata saya, setelah itu beliau lenyap.
