Di cerita ini, jenis mahluknya sengaja kami sensor, juga yang sekiranya tidak perlu diceritakan kami sensor. Setelah tempat sholat, kami menuju kamar, ada 7 kamar di ruang itu, memang tadinya buat kost-kostan, sekarang tidak ada yang berani kost disitu, paling lama semalam. Kebanyakan akan pamit sebelum Isya, jangankan orang luar, penghuni rumah saja tidak berani ke ruang belakang. Menghindari ruang tengah saat malam, padahal mereka lahir dan dibesarkan di tempat itu. Yang coba kami teliti ulang apabila masih ada ghaib yang terlewati karena pembersihan yang dilakukan Raden tadi, tidak lebih dari satu menit.
Karena yang nakal-nakal sudah bersih, maka pagar yang diruang tamu kita buka. Ada 3 hal yang perlu dilakukan dengan persetujuan tuan rumah, yaitu:
1. Tentang penanganan arwah yang ada di dalam rumah.
2. Tentang pembersihan kamar depan dimana kita deteksi merupakan tempat ritual.
3. Tentang lukisan di tembok.
Pertama kami ajak tuan rumah ke salah satu kamar, di dalam gulungan tikar bekas pembungkus mayat, kami jelaskan sosoknya dan di sepakati untuk di biarkan tinggal di rumah.
Arwah yang kedua, ada di tempat ini, setelah saya beritahukan sosoknya, seperti tadi, mereka mengenali sebagai leluhur dan membiarkan agar tetap tinggal di dalam rumah.
Selanjutnya kami ajak tuan rumah ke kamar depan, mereka menunggu sebentar di luar kamar ketika sosok Buto Ganas kami masukkan kol buntet.
Barulah mereka masuk.
“Bisa ditunjukkan, ada benda apa saja di sini?”
“Kemaren banyak sekali tapi sudah kami buang,” kata suaminya menerangkan.
“Masih ada kata saya”
“Sudah tidak ada pak, sudah kami bersihkan semua ketika mama sakit”
“Masih ada” kata saya, maka mereka mulai membongkar isi lemari dengan ogah-ogahan karena yakin tidak ada lagi yang tersisa.
Agak lama juga sampai salah seorang menunjukkan sesuatu pada saya.
Sebuah botol kecil warna hijau, terasa berat dan ditutup rapat sekali sehingga tidak bisa dibuka.
“Bolehkan benda ini saya hancurkan?”
“Silahkan pak”
Maka kami ke belakang rumah, beralaskan plester keras, berulang kali saya hantam dengan batu namun tidak pecah justru batunya yang pecah,bahkan sampai plesterannya retak.Coba saya taruh di batu keras, lalu dihantam pakai batu kali, tetap saja tidak mau pecah.
Berkali-kali mereka menyodorkan batu besar, tetap saja botol kecil itu tidak pecah dan tetap utuh lalu saya tawarkan pada mereka untuk mencoba memecahkan, bukannya mendekat, malah menjauh dengan mimik ketakutan.
Keadaan itu membuat mereka tampak gelisah, khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi, hanya keluarga saya yang tenang-tenang saja.
“Tidak bisa dipecahkan,” kata saya membuat mereka makin pucat, karena kasihan, saya panggil anak lanang untuk mengambil garam yang masih di dalam mobil.
Semua orang melihat agak heran, sebuah toples plastik yang kedap udara.
Ketika saya buka, aroma minyak yang sangat menyengat menyebar dengan cepat ke segala penjuru. Ya, memang garam tersebut sudah diberi minyak neraka, minyak penghancur yang terpaksa dikeluarkan bila ada ghaib yang tetap nekat bertahan.
Saya minta semua menjauh, sambil menaburkan sedikit garam ke botol tersebut dan sekali pukul, seolah meledak, karena hancur berkeping-keping dan pecahan kacanya terlempar kemana-mana dengan keras. Sekali lagi saya taburkan sedikit ke benda yang tadinya di dalam botol, semua terlihat lega, namun hanya sesaat ketika saya singgung, “Masih ada lukisan,” kembali mereka tegang. Karena tahu, penanganannya akan lebih sulit daripada botol tadi.
Setiap orang yang mau kost, begitu melihat lukisan yang terpampang di dinding mengurungkan niatnya, yang memberanikan diri, tidak akan bertahan lebih dari 2 malam.
“Bolehkah saya turunkan?,” tanya saya minta ijin pada tuan rumah.
“Itu lukisan almarhum ayah dan ibu, ibu sakit-sakitan, saya kira tidak keberatan kalau diturunkan,” begitu katanya namun tidak ada yang bertindak.
“Silahkan kalau mau diturunkan,” katanya pada saya, saya pandangi anggota keluarga yang lain, mereka tidak ada yang bereaksi. Rupanya untuk menurunkan saja tidak ada yang berani melakukan, maka dengan naik meja, saya turunkan lukisan itu dari dinding, mereka hanya melihat saja.
Selanjutnya saya taburi garam yang mengandung minyak neraka dan aura mistis itupun lenyap.
“Mau disimpan dimana?,” tanya saya, tidak ada yang menyaut.
“Tidak ada saudara yang mau di tempati lukisan itu,” kata sang suami.
“Bakar saja,” entah siapa diantara mereka yang nyeletuk tadi, karena mereka saling berpandangan, entah mencari siapa yang bicara tadi atau sekedar ingin minta pendapat.
“Ini sudah tidak bahaya kok,” kata saya mencoba mengingatkan bahwa sayang kalau mau dimusnahkan.
“Siapa yang mau membawa?,” kata sang suami tadi pada saudara-saudara nya, namun tidak ada yang mau.
“Jadi, ini dibakar saja?,” tanya saya, tidak ada yang menjawab.
“Kalau begitu, siapa yang akan menyimpan?,” hampir bersamaan mereka menggeleng.
“Dibakar saja,” kata sang suami memberanikan diri, saudara-saudaranya juga mengangguk meski terlihat berusaha menyembunyikan ketakutan.
Maka saya bawa lukisan itu ke belakang rumah, dengan bensin saya bikin perapian yang dibagi dua titik, tepat dibawah lukisan suami dan dibawah lukisan istri. Aneh, hanya lukisan suaminya yang terbakar.
“Foto ibu tidak mau terbakar,” kata saya sambil menambah perapian. Kalimat itu membuat sekeluarga terlihat resah.
Sampai apinya padam, hanya wajah sang suami yang hangus terbakar.
“Tidak mau terbakar, tapi bisa menjadi koleksi yang menarik, sekarang siapa yang mau mengkoleksi?,” tanya saya sedikit bercanda, namun tidak ada yang menanggapi, yang nampak adalah wajah-wajah yang pucat. Namun patut di maklumi karena memang ibunya yang ditakuti, bukan sosoknya, melainkan hobinya mengoleksi benda-benda mistis dari para dukun.
Yang cemberut malah nyonya, dia tahu kalau saya menakut-nakuti keluarga itu. Sebelum diomelin, saya suruh mencampurkan sedikit garam neraka ke minyak tanah lalu mengguyur seluruh lukisan itu sampai merata lalu membakarnya. Mula-mula api begitu besar lalu makin lama makin surut.
Anehnya, hanya lukisan bagian tengah yang terbakar, tepatnya bagian wajah keduanya saja, sedangkan piguranya yang terbuat dari kayu sama sekali tidak terbakar, menghitam saja tidak.
( By – Romo Sidharto Haryo Pusoro )
