Salah satu murid Paguyuban Sekarjagad sepuh yang tidak berhasil menyelesaikan pelajarannya keburu wafat adalah mbah Min, masih saudara,selain sudah sepuh, penglihatan dan pendengarannya sudah jauh berkurang.
Saya masih ingat beberapa percakapan dengan beliau.
“Mbah, njenengan ini sesungguhnya agamanya apa?”
“Agamaku pancasila”
“Bagimana itu cara menjalankannya?”
“Ketuhanan Yang Maha Esa, ya sudah itu saja, tidak perlu harus terikat dengan salah satu agama, saya sudah mengamati bahwa semua agama itu ada plus minusnya, ada kewajiban yang harus dilakukan kalau tidak dilakukan akan menerima hukuman, pancasila tidak seperti itu”
“Karena pancasila bukan agama mbah”
“Agama itu apa?” Tanya beliau sambil mencoba melihat kearahku meskipun tdk bisa tepat karena katarak. Saya diam saja menghindari perdebatan, kerena lebih baik mendegar.
“Agama itu ageman atau teken (tongkat membantu berjalan) agar bisa menjalankan hidup dengan baik, semua itu ada di pancasila,” kata beiau bersemangat, maklum purnawirawan meski sdh 80-an powernya masih kuat.
“Bagimana itu cara menjalankannya?”
“Ketuhanan Yang Maha Esa, ya sudah itu saja, tidak perlu harus terikat dengan salah satu agama, saya sudah mengamati bahwa semua agama itu ada plus minusnya, ada kewajiban yang harus dilakukan kalau tidak dilakukan akan menerima hukuman, pancasila tidak seperti itu”
“Karena pancasila bukan agama mbah”
“Agama itu apa?” Tanya beliau sambil mencoba melihat kearahku meskipun tdk bisa tepat karena katarak. Saya diam saja menghindari perdebatan, kerena lebih baik mendegar.
“Agama itu ageman atau teken (tongkat membantu berjalan) agar bisa menjalankan hidup dengan baik, semua itu ada di pancasila,” kata beiau bersemangat, maklum purnawirawan meski sdh 80-an powernya masih kuat.
“Bukan kejawen ta mbah?”
“Pasti kejawen, agamamu apa?”
“Islam mbah”
“Islam itu seperti pak ustadz itu lho, itu baru Islam, kamu itu kejawen, njawani, peduli pada sesama, tdk menebarkan permusuhan atau kebencian, menghormati agama yang lain, bisa milah antara yg baik dan yg tidak baik bukan karena kitab yg menuntumu namun karena nuranimu, itu kejawen, itu pancasila, kejawen itu bukan caranya manembah gusti, kejawen itu sikap hidup. Kalu kamu Islam seperti pak Ustadz yg cermahnya kedengeran sak kampung, tidak mungkin aku mau datang apalagi berguru ke padepokanmu”.
Kalimat beliau tegas sekali, diucapkan tanpa keraguan, menunjukkan kalau itulah suara hati.
“Pasti kejawen, agamamu apa?”
“Islam mbah”
“Islam itu seperti pak ustadz itu lho, itu baru Islam, kamu itu kejawen, njawani, peduli pada sesama, tdk menebarkan permusuhan atau kebencian, menghormati agama yang lain, bisa milah antara yg baik dan yg tidak baik bukan karena kitab yg menuntumu namun karena nuranimu, itu kejawen, itu pancasila, kejawen itu bukan caranya manembah gusti, kejawen itu sikap hidup. Kalu kamu Islam seperti pak Ustadz yg cermahnya kedengeran sak kampung, tidak mungkin aku mau datang apalagi berguru ke padepokanmu”.
Kalimat beliau tegas sekali, diucapkan tanpa keraguan, menunjukkan kalau itulah suara hati.
“KTP njenengan Islam gitu kok mbah”.
“Suka-suka pak bayan sajalah, mau ditulis apa”.
“Kalau sudah di KTP, kenapa tidak dicoba mempelajari islam?”
“Suka-suka pak bayan sajalah, mau ditulis apa”.
“Kalau sudah di KTP, kenapa tidak dicoba mempelajari islam?”
“Islam seperti yang katakan pak ustadz itu?,” kata beliau balik bertanya dan saya harus mengagguk, terlepas khotbah-khotbah beliau sesuai dengan nurani atau tidak.
“Dia tidak tepo sliro atau tidak toleran, duduk di sebelahku saja tidak mau ketika ada kumpulan RT, semua menyalami karena dianggap paling tua, tidak seperti dia, malah dikatakan saya kafir dan tidak pantas di kumpuli apalagi di hormati, ya senyum saja”
“Kan tidak semua begitu mbah, saya muslim tidak begitu”
“Iya, itu karena kamu kejawen, kejawen itu tahu unggah ungguh atau bagaimana membawa diri ditengah masyarakat dan dihadapan Gusti, andaikata agama dilandasi budhi pekerti, niscaya akan adem, ora gontok-gontokan dan rebutan bener atau tidak saling rebutan paling benar”
“Dia tidak tepo sliro atau tidak toleran, duduk di sebelahku saja tidak mau ketika ada kumpulan RT, semua menyalami karena dianggap paling tua, tidak seperti dia, malah dikatakan saya kafir dan tidak pantas di kumpuli apalagi di hormati, ya senyum saja”
“Kan tidak semua begitu mbah, saya muslim tidak begitu”
“Iya, itu karena kamu kejawen, kejawen itu tahu unggah ungguh atau bagaimana membawa diri ditengah masyarakat dan dihadapan Gusti, andaikata agama dilandasi budhi pekerti, niscaya akan adem, ora gontok-gontokan dan rebutan bener atau tidak saling rebutan paling benar”
Dulu beliau bekerja ikut team bedah di RS Gatot Subroto dan sehari-hari di habiskan untuk kepentingan medis. Pernah aku lama kerap menyambangi beliau, waktu beliau masih di pusdikes Cililitan, kerap orang minta anaknya di sunat. Yang datang dari luar komplek aku sering melihat anak disunat, tapi hanya di upah terimakasih, selalu begitu terus. Waktu itu tahun ’74 pernah aku tanya sama istrinya,”Bulik lha kok pak lik gak di kasih upah?” “Biarin gak papa, Pak likmu sudah di gaji negara,” jawab bulik. Yang namanya anak kecil ya bertanya-tanya dalam hati. “Kok Paklik bisa begitu ya?,” imbuh Romo Sapta Geni.
Ingat waktu mbah Min dapat rumah dinas yg harusnya untuk perwira malah ikhlas diberikan ke tamtama karena sang tamtama punya anak banyak dan perlu rumah yang lebih luas dan memilih tinggal rumah dinas untuk tamtama, tambah mbak Djuwita Novitasari
Ketika itu tahun 1975 Paklik Wagimin dapat perumahan di Cibubur, dulu namanya komplek kodam. Waktu saya menengok tempatnya, rerumputan separuh sampai nutup tembok. Pas itu saya juga tanya, “Lho Pak lik apa belum perwira kok dapatnya yang disini,” tanyaku pelan. “Ya ini jatahku di lokasi tamtama,” kata Paklik sambil tertawa lebar. Saya juga ikutan tertawa, saya pikir tanda 2m (pembantu letnan satu) di pundak itu perwira, ternyata bukan toh. Tidak lama aku ikut pindahan, usung-usung almari dan tempat tidur. Pas di dekat rumah sakit Polri Kramat Jati, mobil kita srempetan sama mobil PLN. Waktu itu Pak lik di depan sama sopir dan orang PLN waktu itu kira-kira 8 orang. Sopir kita di caci habis-habisan, malah di seret-seret mau di pukulin. Aku juga heran Paklik kok diam saja, “tentara cap opo iku, “dalam bathinku.” “Silahkan kalau mau berurusan dengan bapak itu,” dengan nada keras si sopir sambil nunjuk ke arah Pak lik. Itu yang punya barang mau pindah ke kodam, selesai urusannya.
Beliau ini punya warisan genderuwo yg sudah di tundukkan. Sosok ini sering dilihat orang-orang kampung dengan kasat mata .Genderuwo yang baik hati, setiap ada anak putu simbah yang sakit si gendruwo mendatangi dan memijit badan yang sakit dan keesokannya sakit pasti sembuh. “Kangmas Sapta Geni sebagai saksi hidup, lebih tahu daripada saya,” kata Romo Sidharto.
Baik hati sih, kalau tuanya kehabisan tembakau atau gambir untuk nyirih, “Mak Glodaaag.” “Pernah aku cari suara itu ternyata di atas meja kecil di dalam kamar ada dua bungkus besek kecil tembakau dan gambir,” lanjut Romo Sapta Geni
Beliau ini sudah berhasil tapi belum tuntas karena gangguan pendengaran dan penglihatan. Saya juga melihat perjalanan beliau sagat mulus karena memang hatinya bersih. Memang Lebih enteng sholat 5 waktu daripada harus terus menjaga hati, pikiran dan tindakan supaya tetap bersih seperti beliau,” tutup Romo Sidharto.
– Sumber Romo Sidharto Haryo Pusoro , Romo Sapta Geni dan Bu Djuwita Novitasari
In this article:

Click to comment