Lewat isya ketika rombongan sampai di kawasan pantai ini, dan setelah putar-putar kami putuskan untuk menyewa kamar paling barat, tempat terdekat dari lokasi religius. Melihat ke laut, hanya deburan ombak ganas yang terdengar karena gelap meskipun di pantai banyak penerangan. Fokus kami adalah sebuah pulau kecil yang terhubung dengan jembatan, auranya sudah terasa jauh sebelum memasuki wilayah ini. Setelah mendapat kamar yang menghadap ke laut, kami mulai berjalan-jalan, pantai ramai sekali karena banyak tenda-tenda di dirikan di sana, beberapa membuat api unggun hingga menyamarkan aura mistis disana. Kami sengaja membawa pancing untuk nyamar, karena akan aneh bila berdiam diri di pulau yang gelap tanpa melakukan sesuatu.
Saya kembali ke penginapan menyiapkan peralatan, sedang yang lain melanjutkan jalan-jalan, belum setengah jam saya dengar suara mereka datang dan yang mengejutkan adalah mereka basah kuyup seperti habis berenang dengan pakaian lengkap.
“Kena air.”
“Apakah kalian masuk ke air malam-malam begini?’
“Tidak, tadi kami hanya di pasir, tiba2 saja ombak datang dan membasahi semuanya.”
“Apakah ada orang lain dipantai?”
“Tidak ada, mungkin karena tahu kami belum ada yang mandi,” kata anak lanang nyantai saja.
Karena air di penginapan asin, maka dia ke warung membeli beberapa botol air mineral untuk mandi.

Singkat cerita, kami berangkat menuju pulau, orang-orang masih duduk-duduk disekitar pantai ketika kami lewat “Nanti jam 10 pasang tinggi,” kata mereka memberi semangat.
“Ini juga termasuk pagar mangkuk,” kata saya pada anak lanang.
Kami duduk di jembatan mepet pulau, sambil berlindung dari angin laut yang kencang.
Saya diam-diam memperhatikan Joe, tanpa di minta dia mengambil posisi mudra. Demikian pula dengan nyonya, diluar sadar tangan kirinya membuat pelindung. Joe selalu menolak ketika di minta ning, namun terlihat sekali kalau indra ke-6 nya aktif saat duduk santai membelakangi pulau. Mau tidak mau, siluet pura yang ada ditengah pulau menggetarkan juga.
Ketika semua rombongan dalam kondisi rileks, pertanda kalau tidak mengalami benturan dengan yang ada disekitar. Mulailah deteksi awal, kali ini fokus ke Pulau Ismaya. Penjaganya 2 orang lelaki muda, bawa tombak dan tameng, saya amati lebih teliti karena ada yang aneh.
Ternyata baik senjata, tameng dan perhiasan yang mereka kenakan semuanya terbuat dari emas. Berarti bukan senjata perang dan seolah tahu apa yang saya pikirkan. Serentak mereka mengangguk hormat sambil tersenyum lalu kembali ke posisi sigap lagi. Saya sengaja tidak memperkenalkan diri

Foto siang harinya, Di belakang penjaga hanya ada di umbul-umbul warna kuning emas, saya diam seolah-olah tidak memperhatikan sambil menyiapkan pancing.
“Kok tidak ada eyang Ismoyo, katanya pulau Ismaya,” kata hati saya. Sepertinya kalau saya mbatin langsung di dengar, karena tidak lama dari dalam pulau turun kakek-kakek sepuh lebih mirip pendeta daripada resi, saya tetap cuek saja tanpa memperkenalkan diri, pura-pura seperti pemancing pada umumnya.
Beliau berdiri diantara kedua penjaga gerbang dengan kedua tangan di tangkupkan di dada, matanya menatap lurus seolah mengamati lalu menundukkan kepala namun posisinya masih tetap, lama-lama nggak enak juga.
“Saya mau nyari lokasi mancing di pulau dulu,” kata saya pada rombongan. Karena nggak enak juga menolak undangan beliau.

Yang saya khawatirkan adalah Joe. Terlihat sekali kalau dia conect dengan mereka yang ada disana, Makhluk kecil-kecil banyak sekali berlarian di sepanjang jembatan ini. Yang saya risaukan adalah kalau dia sampai terpengaruh oleh jeritan korban-korban yang pernah tenggelam di gulung ombak. Meski sudah pamit, saya masih berdiri belum beranjak. “Tidak akan ada yang berani mengganggu,” suara halus di antara desiran angin laut dari kakek itu mencoba menenangkan.
(By Romo Sidharto Haryo Pusoro)