Sidharto Haryo Pusoro : Di mulai dari12th yang lalu. Pasti bukan kebetulan ketika saya dan kakang bekerja pada perusahaan yang sama, sebuah kontraktor pertamina yang mengerjakan proyek pioanisasi Rewul (Yogya) – Teras (Boyolali). Tepatnya dari dekat Parang Kusumo pantai selatan sampai Pengging. Pastinya bukan kebetulan kita bisa menggunakan mobil perusahaan.
Sapta Geni : Teringat ikut narik pipa yang bobot 1ton, di tengah sawah, tidak terasa sama sekali, karena kepepet, biasanya minimal harus di tarik 15 orang, karena pada waktu itu hanya tersisa 10 orang. Eh lancar juga, padahal ngantuk tiap malam blusukan sesirih, dari dan berawal dari itulah kita mengenal ghaib leluhur yang kita doakan dan kita sambangi, mereka akan mengerti kesulitan keturunanya, hanya karena ijin Tuhan semata, sesulit apapun tugas yang kita emban, ternyata beliau-beliau leluhur kita juga tidak akan tinggal diam, hingga saat ini.
Sidharto Haryo Pusoro : Kami makin bersemangat ketika “entah bagaimana” kok bisa melihat penampakan mahluk ghaib. Karena tinggalnya di Yogya tepatnya jalan menuju Parang Tritis, maka sosok yang pertama kali terlihat dari kraton kidul. Sekarang baru tahu kalau saat itu bukan saya yang bisa melihat, namun beliau yang menampakkan diri.
Sapta Geni : Masih teringat cerita unik, waktu aku jadi drivernya romo Sidharto Haryo Pusoro, dasar mobil proyek, surat secuil stnk saja sudah kadaluwarsa, padahal Jogja setiap saat ada operasi (Polisi), saat itu aku tugas dengan romo Sidharto Haryo Pusoro, tau-tau mak bedunduk pas di tikungan daerah boko harjo prambanan, ada operasi gabungan, dalam hatiku, “Wah lha iki klakon mulih mlaku kataku,” romo Dharto jawab, “Lhapo mlaku, aku bilang mobile bodong hehe, trus aku disuruh diem, pas di tempat polisi memberhentikan semua kendaraan, anehnya seperti pada tidak melihat mobil kita lewat, itu pun berulang kali.
Sapta Geni: Aku pernah bersama simbah di kebun, waktu itu di suruh ngangkat batang pohon asem yang sudah di tebang, dan di potong 1,5 meter, waktu akan pulang k rumah, ayo lee angkat gowo bali, ternyata beratnya bukan main bisa terangkat di pundak, tapi aku gak bisa berdiri, lalu simbahku sambil mikul yang satunya, batang pohon yang di pundakku di tepuk 3x, sambil baca apa aku tidak tau, Alhamdulillah aku baru bisa berdiri, aku pikir juga aneh, waktu aku ikut narik pipa besi di proyek, seperti yang di lakukan simbah waktu angkat kayu, aku praktekkan ternyata lancar juga ketika pipa saat itu seperti di reem gak bergerak sama sekali, tapi ya begitulah seperti orang tidak waras, benda mati kok di ajak ngobrol, apa karena Bismillah dan kepepet…
Sidharto Haryo Pusoro: Ingat juga ketika boncengan naik motor dr Sragen ke Yogyakarta, mesti cepet nyampai supaya tidak terlambat. Alhamdulillah, puluhan lampu lalu-lintas sepanjang jalan, setiap kali kita lewati selalu hijau. “Lampu lalu lintas kok ijo kabeh”
Sapta Geni : Pernah kita ada acara pembersihan di daerah Sragen selatan, kalau tidak salah nama desanya Celep, ketika mau berangkat kita dan teman-teman, badan ini seperti lemas tanpa tulang, namun kala itu romo Dharto tau duluan klo para demit yang akan kita hadapi sudah menyerang dan mencuri start duluan, dengan kesigapan dan permohonan doa pd Gusti Allah, Alhamdulillah dapat kita atasi, lalu sampailah kita di lokasi, hmm ternyata benar di situ ada koloni bangsa genderuwo, yang membikin penghuni rumah selalu tidak ada kenyamanan dlm hidupnya, sakit bergantian pada penghuni rumah itu, dengan kemurahan dan ijin Gusti Allah, kita dapat menyelesaikan permasalahan keluarga itu ,walau kita semua babak belur melawan mereka, hehehe…
Sidharto Haryo Pusoro: Kl diingat waktu itu. Pencak sama demit. Lha mmg bisanya baru bgt. Di Gondang, pertama kali ditemui Budha, Pertama kali didatangi Raja iblis
Sapta Geni: Saat kita melekan di rumah teman depan pegadaian Gondang, sama teman-teman tau-tau di datangi sosok seperti Yesus, waktu itu disekitar kita duduk udaranya sangat dingin sekali, sempat aku menggigil, romo Dharto memberi aba-aba awas siaga!! Karena kita seperti terdesak kehadiran sosok tersebut, padahal dia tidak menyerang tapi sosok yang seperti Yesus itu terus bertatap mata dengan romo Sidharto Haryo Pusoro, saat itu pula berubah menjadi mahkluk yang menakutkan dengan wajah merah besar dan bertanduk, seketika itu pula datang juga sosok wali, beliau mengaku Sunan Giri, lalu saat itu pula, kalau tidak salah beliau sunan Giri, mengijasahkan kita aji Segara Geni, untuk melawan yang katanya iblis itu, A lhamdulillah perwujudan itu mundur semakin menjauh dengan kita, dan udara disekitar kembali normal.
Sapta Geni : Dari Parang Kusuma perjalanan kita saat itu, seperti pengamen, njajah deso milang kori, kepintu satu dan pintu makam yg lain, yang tentunya bukan untuk apa apa, namun hanya mencari informasi dari ghaib leluhur selama 3 tahunan, yang mungkin ada pesan-pesan yang akan di sampaikan pada anak cucunya, berbagai sendang/umbul di daerah Klaten, trus berjalan ke utara, sampailah kita berdua di gunung Pengging, di umbul Pengging makam R.NG.Yosodipuro, disinilah kita bertemu dan di pertemukan dengan banyak sekali para leluhur dan ghaib langit istilahnya, mungkin romo Sidharto Haryo Pusoro yang akan ndongeng selanjutnya, hehe…
Sidharto Haryo Pusoro: Dongengnya masih di Yogya dulu Kangmas, baru nanti merembet ke Prambanan, di Klaten pertama kali dibimbing Eyang Semar baru ke Pengging, tempat turunnya Wahyu Sekarjagad.
Sapta Geni : Karepku biar cepet selesai dongengnya, sepulang dari kerja proyek di Jogja kalau badan tidak capek pasti langsung ke Parang Kusumo, seperti biasa dulu selalu bertiga, yang satu namanya Nurcholis, gak tau sekarang dimana, lalu berbaur dengan para pendatang dar luar kota, apalagi Jumat Kliwon, tumplek bleg rewo-rewo, seperti kebanyakan para pemangku disitu, kita seperti dirumah sendiri kalau sudah datang di situ, yang masih aku ingat sampai sekarang, pas tengah malam kita tiduran di pinggir pantai, lha kok romo Dharto nyeletuk, “Mas aku di weruhi ongko 99, wah sing adol togel neng pinggir laut sopo?” Lha kita berdua dulu benar-benar papa, lalu rm Dharto jawab, “Ojo kok tuku.” Lalu paginya aku tanya tetangga kos, yang keluar 999, hmmm… hehe…
Yen romo Dharto ngentukne tuku, opo nduweku tak dol mas, yen gelem sugih sudah dulu-dulu, hehe…
Setelah perjalanan kita sampai di Klaten, yang namanya Nur Kholis, orangnya memang keras jika bersinggungan sedikit saja dengan orang maupun bangsa demit, sampai-sampai aku sendiri kalau sama dia selau deg-degan, pernah ada dukun sama-sama ke warung, temanku itu sudah nggereng- nggereng kaya macan, dukunya gak ngapa-ngapain kok mau di klethak xixi, aku tanyain kowe mau ngopo awakmu kok abang ireng karo nggereng? deweke ngetoknee ulo gede pak, arep tak klethak ulone, oooalaah…
Setelah sekian lama di Klaten, romo Dharto mendapat wasiat asmo dari pembimbing, kalau tidak salah (eyang sapu jagad), asmo tersebut Joko Lelono, dan tidak lama kemudian seiring waktu romo Dharto mendapatkan tuntunan wahyu dr eyang Sekarjagad, sekaligus juga di wasiatkan asmo Satrio lelono, dan juga dari Shang Hyang Bathara Wisnu di ganti nama Satrio Gung Binathara, namun diantara asmo tersebut tidak satupun di pakai beliau, memang tidak ringan jika memakainya, padahal sudah diberikan, begitulah kebijaksanaan romo Dharto, seperti diriku juga tak memakai asmo yang sudah di wasiatkan, yaitu Sigar Penjalin, yo gak wani nggawe, hehe…
Sidharto Haryo Pusoro : Lha kok mencolot maneh, Itu kan setelah kita tinggal di Jatinom Klaten. Memang cerita di Klaten paling seru. Ada umbul yang isinya jin-jin cantik mandi, Sampai lupa nama umbul-nya. Setiap umbul ada penguasanya. Paling menarik adalah Umbul Gedhong.
Jadi ingat turunnya wahyu Sekarjagad, hampir sama dengan turunnya wahyu Sigar Penjalin. Memancar cahaya yang sangat menyilaukan dari pesarean eyang R Ng Yosodipuro. Tidak sangka-sangka bisa “ngremboko” beneran. Mencolot maneh critane, Yo ngene iki wong tuo yen ndongeng, Keh keh keh…
Sapta Geni : Selain umbul-umbul yang di sebutkan Den Mas, ada umbul nganten, umbul nila, dan lain-lain, banyak terdapat disekitar Polan harjo dan Tulung, memang benar apa yang di bilang romo Sidharto Haryo Pusoro, kala itu hanya umbul Gedong yang paling mengesankan, waktu itu bersama-sama wisata malam, dan tak lain ke tempat yang sekiranya di anggap warga sekitar dimana tempat itu di sakralkan, tidak lupa selalu bawa oleh-oleh untuk penghuni umbul, yang tentunya sudah umum kita sebagai tamu sekaligus ikut dengan adat di situ, untuk mencari sisik melik/informasi dari leluhur yang sdh ghaib, kebanyakan memang setiap umbul/sumber/mata air di kelola oleh pemerintahan setempat, agar mata air terjaga dengan baik,
Umbul Gedong disitu tumbuh pohon Munggur yang sangat besar sekali, di situlah awal kita kulo nuwun pd penghuni/danyang umbul, ternyata dari komunikasi yang kita dapat, di situ bekas peristirahatan bala prajurit dari Pengging Sepuh (eyang Damarmoyo) dan Raden Bandung Bondowoso, jalur saat menyerang Prambanan, malahan waktu itu kita semua di perlihatkan gudang pusaka oleh oleh eyang Damarmoyo, sekaligus dipersilahkan memilih pusaka tersebut, untuk diberikan atau tidak, kita tidak tau, hehehe…
yang terletak di samping pohon besar itu, namun romo Sidharto Haryo Pusoro sendiri tidak tertarik barang satupun, lho lha kok emoh kepriben dlm hatiku, lama kita melekan disitu, sampai hampir pagi lalu pulang, dengan tangan hampa, namun dapat bertemu dengan penghuni di situ sudah Alhamdulillah…
Sidharto Haryo Pusoro : Sebagai gantinya kita diberi ilmu, banyak ilmu. Salah satu diantaranya “pecuting lathi,” ajian yang digunakan merontokkan isi dada Prabu Boko. Selain ilmu ajian juga banyak petunjuk dan nasehat yang kami terima. Disana ada petilasan, ada goa penyimpanan harta dan pusaka.
Ditempat wingit apalagi petilasan, maka sudah pasti biasa dikunjungi orang-orang yang suka “sesirih” seperti kami. Seperti halnya malam itu di umbul Gedhong. Disekitar pohon yg paling besar, sudah ada beberapa orang, ditempat itu juga bekas bunga dan dupa banyak ditemukan. Maka kamipun melangkah kesitu. Setelah beberapa saat, suasananya anteng-anteng saja, tidak ada penunggu yang menghampiri. Karena penasaran, maka saya coba melihat sekeliling. Agak jauh dari tempat itu, lamat-lamat terlihat ada sosok putih.
Maka kami kesana, kearah timur dekat dengan kandang kambing, tempatnya tidak terurus. Dibawah pohon tersebut sosok itu mulai terlihat agak jelas, kami mendekati beliau, ternyata beliau berdiri di lempengan batu datar yang agak lebar. Kami duduk dihadapan beliau, di bebatuan yang lebih rendah. Ternyata, disini tempatnya, tidak ada bekas bunga atau dupa, berarti selama ini, tidak ada yang tahu letak persisnya. Kembang sama dupa sudah terlanjur kita taruh di tempat yang tadi, namun sepertinya beliau tidak mempermasalahkan. Sosok resi sepuh sekali, perawakannya kurus membawa tongkat yang terlihat berat.
Dilanjut kang Sapta Geni…
Sapta Geni : Sebelum muncul sosok berpakaian putih yang di sebutkan romo Sidharto Haryo Pusoro, kita disambut oleh raksasa yang turun dari pohon besar tersebut, seperti yang kita lihat cara berpakaian dan gaya bahasa beliau sosok putih dan terlihat sabar itu sebagai pujangga sekaligus penasihat kraton Pengging Sepuh, selang 2 hari kemudian saat kita nongkrong di belakang rumah kontrakan, suasana disekitar kita sangat hening dan dingin seperti angin laut, eh ternyata saat itu juga pusaka ujud ghaib yang tadinya tidak kita inginkan dikirimkan juga, malahan kita diperlihatkan banyak sekali pusaka yang seperti berbaris di angkasa, yang saya ingat kalau tidak salah aku diberi udeng/iket (Gumbolo Geni) dan sebuah keris hitam (Kyai Sengkolo) dan romo Sidharto Haryo Pusoro dapat senjata (Pecuting Lathi), yang namanya di kasih ya kita terima saja, hehe… lumayan buat bekal jika ada pembersihan rumah, waktu itu kita semua memang hanya bermodalkan tekat dan sedikit pengalaman yang kita dapat dari perjalanan sesirih.
Sidharto Haryo Pusoro : Suatu malam, datang para sinuwun dan kerabat yang dimakamkan di Imogiri. Beliau mempersilahkan kalau kami kesana, seperti diketahui kalau orang awam tidak boleh masuk kesana.
Datangnya rombongan besar dari kraton itu membuat kami cepat masuk kamar dan membakar dupa untuk menyambut kehadiran beliau-beliau. Maksud kedatangan beliau adalah untuk memberikan restu agar selama perjalanan spiritual ditlatah Yogyakarta tidak ada kendala.
Sebagai tanda, beliau memberikan setangkai kembang pepaya jantan untuk diletakkan “ditelak.” Ketika saya tanyakan kegunaannya, “Agar apa yang kamu ucapkan laksana sabdo ratu tan keno wola wali harus dilaksanakan dan apa yang diucap akan terjadi.” Mendengar itu kami ucapkan banyak terimakasih dan “menitipkan” mustika itu kepada beliau, karena saat itu kami belum sanggup menerimanya.
Kisah tentang dapatnya Kaca Benggala saya lupa. Mungkin kang Sapta Geni masih ingat.
Sapta Geni : Di dalam ingatanku, kaca benggala itu kalau tidak salah setelah mendapat Sekar Wijaya Kusuma dari Shang Hyang Bathara Wisnu, saat mendapat kaca benggala, yang aku ingat romo Sidharto Haryo Pusoro malam itu juga diperlihatkan kengerian di dalam kubur (siksa kubur) apa lagi yang di perlihatkan kerabatnya sendiri di siksa, Astaghfirullah…
Kisah perjalanan waktu itu tidak hanya ngempet lapar dan menyambangi leluhur tiap malam saja, namun kesabaran memang saat itu benar-benar diuji, terutama romo Sidharto Haryo Pusoro, setiap saat dan setiap hari mendapatkan hadiah cacian dari yang punya proyek, hmmm… aku heran juga waktu itu padahal beliaunya pak Haji (yg punya proyek) tapi kalau sudah bicara, weleh weleh… puedeese puoll, sampai saya saja pernah di becandain sama teman-teman, pak ayo nyate, trus aku tanya, lha mau nyate apa cah, nyatee pak Haji, walaah… jadi sampai sekarang aku sendiri yo ikut belajar sabar, ya karena itu, sudah saya bilang, Bathara Narada pernah berkeluh sama romo Sidharto Haryo Pusoro, aku dengar sendiri, kesabaranmu gawe horeg khayangan leee, smg manfaat…
Semakin jauh kita berdua masuk menyelami dunia ilmu metafisik, tidak semakin baik, justru semakin terpuruk keadaan ekonomi kita, hmm… motor saja butut, ngutang lagi, selang beberapa tahun, kita dapat tempat/ hunian dari saudara untuk berkumpul bersama teman-teman di Sragen dan waktu itu dengan bekal kemampuan romo Sidharto Haryo Pusoro meramu jamu dan penyembuhan tusuk jarum, untuk menyambung hidup, sedangkan patiraga kala itu masih sama sama belajar, dan untuk bisa duduk sempurna dengan tenang itupun butuh waktu tidak sedikit untuk pati raga, hehehe… namanya juga masih awam, ya mungkin karena keinginan kita semua sangat kuat, Alhamdulillah bisa kita lakukan, tidak sampai disitu ketika teman saudara kita dari berbagai kalangan tau dan bekumpul, saat itu romo Sidharto Haryo Pusoro dan kita semua mengajari bagaimana cara duduk sempurna ala ksatria itu saja, sampai benar-benar baik dan tenang, setelah itu baru masuk ditahap yang namanya patiraga, hehehehe… sekarang maah enaaak, duduk sempurna/gak sempurna yang penting nyaman langsung patiraga yess…
Sidharto Haryo Pusoro : Kalau ada yang cerita sakit dan menderitanya lelaku mendalami spiritual, kami senyum saja.