Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Kisah 2 Jin Penjaga di Istana Jin

Nguping perdebatan di istana jin, antara jin penjaga gerbang yang namanya Laksono dengan Sarbini. Jin koki istana ketika sedang istirahat. Laksono yang tinggi besar berkulit merah seperti Buto memulai percakapan

“Kang Sarbini, kenapa ya kok saya tidak bisa melihat Tuhan?,” Sarbini yang badannya bulet seperti ikan buntek tetapi kulitnya putih sekali tetap saja asyik mengunyah permen karet yang sudah 3 hari 3 malam tidak habis-habis.

“Apakah manusia itu bisa melihat Tuhan ya kang,” kata Laksono melanjutkan.
“Mereka itu seperti kamu, matanya saja yang melek tapi nggak tahu.”
“Memangnya Kang Laksono bisa melihat Tuhan?,” tanyanya lagi lebih serius sambil mendekat.
“Makanya kalau ada kunjungan, sekali-sekali dengarin, manusia maupun jin sesungguhnya bisa melihat Tuhan, cuma mereka saja yang gak pinter-pinter.”
“Ah, kenapa begitu kang?”
“Sebentar, tak bikin minuman buat sinuwun dulu,” kata Sarbini sambil ngeloyor ke dapur

Laksono, tiba-tiba merasa gelisah, karena itu nekat menemui Sarbini yang lagi merebus air.
“Kang, bagaimana cara melihat Tuhan?,” tanyanya sambil ndeprok di sebelah Sarbini.
“Laksono, Laksono, kok nggak pinter-pinter, kan ikut dengar kemaren ketika Eyang Begawan Ranulinggo dari alas Mentaok kesini, beliau kan bilang kalau Dzat ALLAH itu melingkupi seluruh alam semesta.”
“Kalau itu aku tahu kang,” sahut Laksono semangat.
“Yang bau pesing di grumbul cipluk’an itu apa?”
“Kencing ku kang”
“Kencingmu apa dzatmu?,” sambung Sarbini.
Laksono mengulang-ulang pertanyaan tadi sambil memeras otak, Sarbini ngeloyor sambil menenteng air panas ke kitchen set, meninggalkan Laksono yang masih bengong.

Dzat, zat, nur, wujud, tidak wujud.
Apakah ada bedanya, kalau masih beda, cobalah mengamati atau merasakan dengan cara yang lain.
Insya’allah akhirnya sama saja. Keh keh keh…

Sambil berjingkat Laksono mendekati Sarbini yang sedang bikin wedang sere sama gula Jawa.
“Kang, jangan bikin bingung toh,” rengek Laksono sambil menghadang.
“Kamu saja yang gemblung, matamu sebesar piring kok nggak melihat keberadaan Tuhan.”
“Dimana?”
“Lha, yang kamu lihat apa?”
“Kang Sarbini.”
“Apalagi?”
“Gelas”
“Apalagi”
“Itu ada laut”
“Yang diatas”
“Bulan, bintang, langit, terus kang, Tuhan di mana?”
Sambil geleng-geleng Sarbini meletakkan nampannya sambil ganti bertanya, “Yang namanya Laksono mana?”.
Sambil bingung Laksono menunjuk mukanya.
“Itu siung,” tukas Sarbini.
“Yang ini,” kata Laksono sambil menunjuk yang lain.
“Itu hidung”
“Yang ini, sambil menunjuk dadanya”
“Kalau dadamu tak beset lalu kulempar, apakah itu Laksono?”
“Ya bukan, paling di anggap kulit sapi mateng”
“Lalu dimanakah yang namanya Laksono?”
Karena Laksono diam mematung, maka diambilnya nampan dan mengantar minuman ke sinuhun sebelum keburu dingin.

Laksono mendatangi Sarbini yang sedang bakar ketela sambil rengeng-rengeng melantunkan tembang Dandang Gula, begitu sampai di sampingnya, tangannya langsung nyomot ketela bakar yang sudah matang sambil nyengir.
“Kamu lagi No”
“Iya kang,” jawabnya sambil memasukkan potongan ketela yang masih panas itu. Sekali suap ludes masuk ke mulutnya yang sangat lebar. zketka tangannya mau mengambil lagi secepat kilat Sarbini menutupi dengan kipasnya. Melihat itu Laksono malah ketawa terkekeh-kekeh melihat muka Sarbini yang berkerut.
“Kamu memang tidak pernah kenyang No,” kata Sarbini sambil menggeser kipasnya. Secepat itu pula Laksono mengambil lagi sepotong besar lalu langsung di masukkan mulutnya.
“Kang Sarbini”
“Mau lagi?”
“Nggak kang, keh keh keh…”
“Sebentar lagi juga waktumya makan”
“Aku mau nanya kang,” karena Sarbini diam maka Laksono melanjutkan kalimatnya.  “Menurutku, Tuhan itu tidak adil kang, coba lihat, sudah lebih 300 tahun  aku setiap hari kerjanya berdiri di regol sambil bawa tombak dan kakang apa nggak bosen dari dulu masak terus kerjanya?”
Sambil terus ngipasin ketela Sarbini menjawab, “Memangnya, kamu pengen seperti siapa?”
“Coba kalau aku seperti Sinuwun itu, tampan, kaya, dihormati, nggak kayak kita yang sering kena semprot Ki Demang”
Sarbini tersenyum sambil mengamati wajah sahabatnya itu. “Makanya, jangan kepalamu saja yang besar tapi otakmu kekecilan, coba nanti kalau ketelanya sudah matang, kamu ikut aku mengantar makanan, kamu yang bawain wedang sereh kesukaan Kiai Jogorogo, beliau sedang duduk-duduk di bale, nanti coba kamu tanyakan ke beliau.”
“Wah, bagus sekali kang, tak mandi dulu, tunggu aku ya,” jawab Laksono sambil berkelebat ke belakang.

Setelah membersihkan diri Laksono mengikuti Sarbini menemui Kiai Jogorogo yang sedang duduk-duduk di bale, beliau adalah penasehat kerajaan jin.
“Assallammualaikum kiai,” sapa Sarbini di ikuti Laksono
“Eh, angger Sarbini sama…”

“Laksono kiai,” sahut Sarbini sambil meletakkan Ketela bakar di susul Laksono menghidangkan wedang sereh.
“Ya ya ya, terimakasih,” kata Kiai sambil menggeser sedikit duduknya, sesaat kemudian beliau menghirup wedang tersebut.
“Hmm… nikmat sekali”
“Terima kasih Kiai,” sambut laksono sambil tetap tidak beranjak dari tempat berdirinya, melihat yang demikian beliau jadi agak heran karena biasanya sehabis menghidangkan Sarbini langsung mundur.
“Maaf Kiai, apakah kami mengganggu?”
“Ooo… tidak, ayo silahkan naik ke bale kalau mau nemenin minum wedang.”
“Terima kasih Kiai, kami duduk di bawah saja,” jawab Sarbini sambil mengamit Laksono supaya ikutan duduk.
“Maaf lho Kiai, ini Laksono mau minta bimbingan.”
“Inggih Kiai Kenapa kok Tuhan itu tidak adil ke… aduh!,” desis Laksono sambil mengusap perutnya yang di cubit Sarbini
“Kalau ngomong sama Kiai itu yang sopan,” bisik Sarbini pada temannya.
“Maaf lho Kiai, kalau teman saya ini kurang tatakrama,” kata sarbini sambil membungkuk.
“He he he… nggak papa,” kata beliau sambil tersenyum.
“Tidak adilnya dimana No?”

“Begini lho Kiai, yang lain giginya kecil-kecil kok saya panjang…”
“Gigi kok di tanyain to No, maaf Kiai, begini Kiai, kenapa ya kalau orang sudah mati kok arwahnya tidak melanjutkan keinginannya semasa hidupnya. Misalnya mati ke santet, kenapa arwahnya tidak membalas yang nyantet?,” tanya Sarbini serius.

“Ini pertanyaan gampang tetapi menjelaskannya yang berat,” jawab Kiai Jogorogo sambil ngambil sepotong kecil ketela bakar.
“Maaf lho Kiai kalau memberatkan,” sambung Sarbini.
“Begini ya, coba simak baik-baik. Saat sebelum meninggal tanda-tandanya adalah mulai menurunnya fungsi panca indra secara perlahan lalu dratis. Saat seperti itulah menjelang sakaratul maut. Pertama dilihatnya sekeliling berubah warna menjadi memerah semakin lama semakin merah, lambat laun warnanya berubah orange semakin lama semakin kuning menyilaukan lalu perlahan mulai redup dan samar lalu menjadi gelap. Gelap pekat sesaat kemudian mulai kelihatan remang-remang semakin lama semakin terang semakinn terang menyilaukan. Pada saat itulah maut menjemput,” Kiai terdiam sesaat sambil menelan ketela bakar, Laksono dan Sarbini duduk dengan khidmad.
“Saat meninggalkan dunia, sebelum roh meninggalkan raga maka semua nafsu dunia mendahului keluar, 4 warna tadi adalah 4 nafsu yang ada pada diri kita yaitu nafsu amarah, aluamah, supiah dan mutmainah,” Kiai menghentikan penjelasannya melihat mereka megangguk-anggukan kepala.
“Kiai kok bisa serba tahu itu belajarnya bagaimana,” celetuk Laksono.
“Harus banyak tirakat”
“Bertapa?”
“Ya”
“Seperti yang di Goa itu ya Kiai?”.
“Itu salah satu di antaranya, Bertapa itu harus Jasmani dan rohani, bertapa jasmani itu ada 3 tingkatan dan bertapa rohani itu ada 7 tingkatan”
“Wee… banyak sekali, maaf Kiai mohon diri dulu, waktunya jaga regol, besok mohon di jelaskan,” kata Laksono sesopan mungkin.
“Ya ya ya, jangan lupa besok bawain gembili bakar ya”
“Inggih,” sahut mereka bersamaan sambil mohon diri.

Tiba-tiba Laksono menghentikan langkah mundurnya, sejenak kemudian dia beringsut mendekati Kiai Jogorogo lagi, “Maaf Kiai, boleh menanyakan satu hal?”
“Ada apa No”
“Begini Kiai, kalau sebelum mati segala hawa nafsu meninggalkan raga, bukankah di alam selanjutnya seolah dia sudah terbebas dari segala macam hasrat, nafsu dan dendam kesumat?”
“Benar”
“Lalu kenapa mereka masih berhasrat masuk surga dengan iming-iming harta berlimpah, kemewahan hidup serta wanita-wanita cantik?”
Kiai Joorogo tersenyum, manggut-manggut sambil mengelus jenggotnya yang panjang, “Kamu sudah mulai pinter No”
“Maaf Kiai saya masih sangat bodoh,” jawab Laksono sambil tersipu.
“Memang, yang di janjikan adalah impian manusia semasa hidup, coba jawab, apa yang ingin kau raih dengan mengabdikan hidupmu disini sehingga kamu nurut di suruh apa saja?”
“Upah, sukur bisa nabung, membeli pakaian dan perhiasan serta rumah, sehingga bisa punya istri cantik dan hidup yang nyaman sampai hari tua”.
“Begitulah No, dengan harapan untuk mendapatkan apa yang di impikan, maka dia akan mengikuti aturan yang ditetapkan”
“Bukankah itu impian selagi masih hidup di alam dunia Kiai”
“Benar”
“Bukankah di alam selanjutnya semua itu tidak berarti lagi”
“Hmm… Kamu semakin faham No”
“Maaf Kiai, saya hanya tidak habis mengerti”
“Biarlah yang rahasia sementara tetap menjadi rahasia No,” tukas Kiai Jogorogo menutup percakapan.
“Inggih Kiai, mohon maaf kalau mengganggu, saya mohon diri.”

Malam ini Laksono dan Sarbini kembali menghadap Kiai Jogorogo, tidak lupa sambil membawakan gembili rebus pesanan beliau.
“Assallamu’alaikum Kiai”
“Wa’alaikum salam warohmatullah… Sarbini sama Laksono”
“Inggih Kiai,” jawab mereka serempak.
“Hayo duduk sini”
“Kami dibawah saja Kiai”
“Ya tidak apa-apa. Apa yang mau kalian ketahui malam ini?”
“Maaf Kiai, melanjutkan pelajaran kemaren, bagaimana bisa waskita seperti Kiai?,” jawab Sarbini cepat-cepat sebelum Laksono menanyakan yang lain.

Kiai Jagorogo yang sepuh itupun manggut-manggut sambil membelai jenggotnya yang panjang keperakan. “Ya, denger baik-baik ya,” kata Kiai sambil nyeruput wedang sereh dan mengupas gembili.
“Kalau ingin memiliki kelebihan dari yang lain, maka harus menempa diri lebih keras daripada makhluk yg lain secara lahir maupun bathin, ada tujuh yang perlu di gembleng keras,” Kiai berhenti sejenak untuk menelan gembili. “Hmm… enak Ni”
“Terimakasih Kiai, hanya itu yang bisa saya hidangkan”
“Saya lanjutkan ya, pertama adalah melatih raga, dijaga agar jangan sampai terkontaminasi perasaan benci pada sesama, harus menerima keadaan yang dialamai secara lahir bathin. Jangan lupa puasa weton karena perasaan kita juga dipengaruhi oleh saudara kita. Dengan puasa weton maka akan lebih teguh dalam menghadapi permasalahan hidup. Di antaranya, bagaimana mengendalikan hawa nafsu yang 4 perkara. Mencintai seluruh ciptaan yang tergelar di alam ini, maksudnya agar kita mudah memaafkan kesalahan yang lain, lalu harus bisa memberikan rasa aman kepada sesama serta menghadapi segala permasalahan dengan bijaksana, jangan sampai pilih kasih.”
“Yang kedua Kiai,” celetuk Laksono tidak sabar.
“Ambilkan kotak nginang saya dulu”.
“Inggih Kiai,” sahut mereka sambil beringsut.

“Kedua adalah teguh pada prinsip. Yang digembleng di sini adalah ketegasan dalam bertindak. Kalau tidak baik ya tidak baik dan sebaliknya, harus tatak. Ketiga adalah menempa hawa nafsu, selalu sabar dan tetep baik pada siapa saja meskipun dia pernah menyakiti, harus percaya pada kuasa Tuha,n” kata Kiai sambil mulai mengunyah kinang.
“Yang keempat adalah menempa rasa sejati. Hati dan pikiran harus tetap di jaga agar dalam kondisi tenang dan hening, tafakur, dzikir dan melantunkan puji-pujiaan pada Tuhan. Kondisi yang hening dan tenang akan mempermudah pencapaian apa yang di kehendaki, terkadang mendapatkan petunjuk atas permasalahan yang sedang di hadapi”.
“Kalian apa tidak nginang?”
“Sudah tadi kiai”
“Yang kelima adalah tirakatnya sukma, nanti di lanjutkan ya, biar kalian tidak pusing, apa yang saya sampaikan itu dulu, resapi”
“Inggih kiai, terima kasih wejangannya”

By Romo Sidharto Haryo Pusoro

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »