Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 1

Sebagaimana telah saya amanatkan kepada semua murid-murid apabila bulan Suro, agar melakukan ziarah ke makam atau petilasan beliau-beliau yang selama ini menemui dan memberikan bimbingan kepada kita.

Menjelang awal Suro, sejak pagi saya sudah mempersiapkan segala perbekalan serta oborampe yang akan saya bawa “Naik” untuk silaturahim ke Padepokan Klampis Ireng, maklum sudah hampir 3 tahun  tidak berkunjung kesana. Sebetulnya yang saya maksud dengan oborampe merupakan hidangan yang saya bawa dari rumah untuk “pantes-pantesan” saja. Seperti diketahui Eyang memiliki Mustika Manik Astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu: tidak pernah lapar, tidak pernah mengantuk, tidak pernah jatuh cinta, tidak pernah bersedih, tidak pernah merasa capek, tidak pernah menderita sakit, tidak pernah kepanasan juga tidak pernah kedinginan. Sehingga oborampe berupa buah-buahan, cengkir gading, jajanan pasar, bubur abang putih, ketan, lira, kembang, dupa dan rokok klobot sesungguhnya adalah hidangan yang nantinya saya makan sendiri bersama para cantrik-cantrik beliau. Oh ya, disana tidak diperkenankan memakan makanan yang bernyawa.

Singkat cerita, setelah dzuhur berangkat kesana karena untuk naiknya tidak bisa dilalui motor, ya terpaksa dititipkan ke orang kampung. Ternyata sudah ada beberapa kendaraan yang dititipkan orang lebih dahulu. Menjelang ashar perjalanan mendaki ke sebuah bukit kecil bersama dengan beberapa orang yang bertujuan sama. Perjalanan tidak begitu sulit karena memang jalurnya sudah terbiasa dilewati penduduk sekitar, hampir sejam perjalanan ada sumber air kecil tempat membersihkan diri dan sholat.

Ada sebuah “petilasan” mendekati ujung bukit, pohonnya tidak lebat sebagian ditutupi oleh semak belukar.  Didekat petilasan itulah ada sebuah aula sederhana yang di plester kasar dengan peneduh seadanya. Kami berkumpul di tempat itu, melepas lelah dan saling bertukar sapa. Salah satunya adalah mbah Wiryo yang sudah saya kenal. Sosoknya sederhana, usianya mendekati 60 tahun dengan pakaian model lama namun bersih. Beliau adalah juru kunci tempat tersebut. Beliau menuturkan kalau Eyang masih di Tumaritis, kemungkinan tengah malam baru datang. Selain beliau, ada Ki Bancak yang sudah beberapa hari di situ.

 

Setelah maghrib, obrolan sudah mulai kemana-mana. Lalu iseng-iseng saya tanyakan ke mbah Wiryo pelajaran-pelajaran Eyang dalam 3 tahun ini yg paling menarik. “Ada banyak petuah beliau, bahkan kemaren selama 3 malam berturut-turut saya dan Ki Bancak banyak mendapatkan nasehat dan petuah,” mendengar apa yang beliau katakan, mereka yang semula berpencar semakin merapat dan seolah membuat lingkaran. Dengan Ki Bancak disebelah kirinya. “Ada yang gemerlap dari dahi panjenengan Ki,” Ki Bancak hanya tersenyum.
“Tidak seterang yang diterima Mbah Wiryo kang,” kata beliau sambil menepuk lutut Mbah Wiryo. “Hayo, kita mulai buka perbekalan sambil mendengarkan cerita beliau,” usul saya yang ternyata di setujui. Kami pun mulai menata makanan dan membagikan minuman.”Gak papa, sambil menunggu Eyang datang supaya tidak ngantuk,” kata yang disamping saya.

 

 

Kira-kira pukul 19.30 wib, seiring dengan mulai mengepulnya asap kemenyan, perlahan-lahan suasana semakin “samun.” Angin dingin semilir, namun yang aneh adalah asap kemenyan membumbung tinggi seolah tidak terpengaruh angin. “Kemaren yang datang adalah 2 orang berjubah dan berkopyah putih,” Ki Bancak memecah kesunyian dengan suaranya lirih namun berat sehingga mudah didengar.
“Mereka ingin mengetahui babagan kenapa Eyang tidak muncul saat penyebaran agama Islam, mereka beranggapan kalau ada kesalah fahaman yang perlu di jelaskan, karena sesungguhnya Islam juga agama yang toleransinya tinggi.”

 

 

“Apakah Eyang bersedia menemui mereka Ki?,” orang yang sedari tadi krukupan sarung menyela.
“Ya, Eyang menghormati mereka dan memperlakukan dengan sangat santun, meskipun tidak tertawa seperti biasanya.”
“Apa yg mrk perbincangkan Ki?”
“Panjang lebar, namun intinya mereka berusaha menjelaskan tentang Islam,” kata mbah Wiryo menimpali.
“Secara umum bagi kita yang coba mereka ungkapkan merupakan pengetahuan umum, bahkan sepertinya Eyang pun faham. Namun sebagai tuan rumah tetap mencoba mengimbangi omongan. Misalnya saat mereka menerangkan bab Umroh-Haji, yakni mulai dengan towaf, memakai pakaian ihrom, diawali dari sudut hajar-aswad yang ditandai dengan lampu hijau. Syar’i, lari-lari kecil, bolak-balik dari bukit sofa ke bukit marwah, bukit marwah ke bukit sofa. Wuqub, kemah dipadang Arofah. Mabit, mengambil kerikil untuk lempar jumroh lempar jumroh aqobah, wusta dan ula.”

 

 

“Berarti ibadah Umroh-haji, ditekankan pada bersihnya hati, jernihnya naluri, terangnya nur’aini. Namun paling sempurna, ya dilaksanakan syariatnya ya hakikatnya. Iya hanabudu wa iya hannastain. Syariatnya, supaya mengerti asal-usulnya agama Islam. Mengerti keadaan negara Arab Saudi, juga bisa napak tilas, perjalanan Nabiyullah Ibrahim, Nabiyulloh Ismail dan Siti Hajar,” mereka agak terkejut ketika Eyang berkomentar demikian.
“Pakaian Ihrom, itu simbol fitrahnya manusia. Putih, bersih, suci dan sufi. Sudut Hajar Aswad. Hajar Aswad itu batu surga mengingatkan manusia pada kedudukan ahli surganya. Bisa jadi ahli surga kembali, kalau bisa melaksanakan towaf, dengan sapta jendranya, menggunakan ajaran syariat, tharikat, hakekat, ma’arif syariat menggunakan Panca Indranya. Tarikat-hakikat menggunakan Indra ke 6 (indra bathin)”. mereka semakin tertunduk ketika Eyang melanjutkan kalimatnya, yang sesungguhnya hanya untuk menyenangkan para tamunya.

 

 

“Ternyata Eyang juga memahami bab Islam, maaf kalau selama ini kami salah.”
“Aku tidak begitu faham le, yang kutahu hanyalah sebatas kalimat yang terbawa angin sampai kemari. Ada yang mengatakan kalau ma’rifat itu menggunakan sapta jendra atau indra ke 7 dengan alam dzikirnya yang merupakan makna dari 7 putaran. Kalau manusia bisa mengembalikan 7 fitrahnya secara sempurna, maka surgalah tempatnya.”
“Mohon pencerahannya Eyang,” kata mereka hampir bersamaan
“Sik sik sik, lha kok malah terbalik?”

 

 

“Aku masih ingat dengan apa yang pernah dikatakan, bahwa Islam akan membawa kedamaian dan ketenterama di tanah Jawa,” sejenak Eyang menatap lekat-lekat para tamunya yang tertunduk diam.
“Aku bertapa le, dalam diamku aku mendengar, dalam pendengaranku aku melihat, dalam penglihatanku aku bernafas, dalam nafasku aku bergerak. Aku menunggu hingga waktu yang cukup untuk membuktikan apa yang katanya kebenaran itu,” ada getaran dalam suara Eyang. Getaran halus namun seolah menggetarkan bukit yang sedang saya duduki, kata Ki bancak.
“Bukankah untuk mengawali agama yang baru di syaratkan untuk syahadat untuk melepaskan diri dari ikatan agama yang sebelumnya yang katanya agamanya orang kafir katanya manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir. Dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya. Maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan.

 

Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. Badan manusia itu bayangan dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu, Muhammad Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian”. saat itu dari kejauhan mulai terdengar kokok ayam.

 

Lalu eyang melanjutkan, “Apa yang terjadi memang harus terjadi le, kalau saat itu aku menolak bergabung, bukan karena tidak mau mengikuti perubahan jaman, tetapi aku ingin melihat kebenaran dari apa yang pernah diucapkan. Setelah aku bertapa setengah abad, lihatlah sekarang apa yang terjadi dengan tanah Jawa. Apa yang kalian banggakan dengan perubahan yang terjadi? Apakah kalian ingin aku merestui? Apakah kalian merasa seharusnya aku mengikuti?Jawablah ngger,” kedua orang itu tertunduk makin dalam.
“Wis wancine subuh, aku menungso maghrib ngger”
“Maaf Eyang, ijinkan kami undur diri,” merekapun undur diri tanpa salam tanpa salim. Eyang menghela nafas panjang sambil menggelengkan kepala, “Wong Jowo malih jawan ora njawani”.

 

 

Suasana kembali hening, seolah semuanya menahan nafas saat Ki Bancak mengakhiri ceritanya. “Apakah mereka langsung turun bukit Ki?,” tanya seorang yang berkerudung sarung seolah menyadarkan kami. “Ya,” jawab Ki Bancak yang selanjutnya suasana hening lagi. Asap kemenyan masih mengepul tinggi, suara gemeretak arangnya terdengar keras dikeheningan malam yang mulai larut. “Ayo, kita tata oborampenya,” kata mbah Wiryo yang kemudian segera beranjak berdiri dan menggelar tikar mendong yang tadinya masih digulung. Ada 3 lembar tikar yang digelar, dengan cekatan beliau mulai menata oporampe yang kami bawa. Karena hampir semua bawaannya sama, maka dipilih yang bagus untuk sesaji utama dan yang lain dikumpulkan didepan. Maka kamipun mulai sibuk, asap dedupaan semakin semerbak.

 

 

“Asallamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam” serempak kami membalas salam. Ada 3 orang yang kelihatan mendekati pendopo, semakin lama semakin jelas, seorang lelaki sepuh tetapi badannya masih tegap, disampingnya ada perempuan setengah baya yang kelihatan peluhnya menghapus bedak di wajahnya dan seorang lelaki muda membawa beban yg sepertinya berat.
“Tumenggung Joyonegoro ingkang rawuh kalih Nyai menggung, monggo-monggo mlebet kemawon,” mbah Wiryo cepat sekali menyambutnya bahkan terkesan agak tergopoh-gopoh. Mereka pun masuk dan denga santun menyalami kami semua. Beban yang tadi dibawa ternyata sesaji juga, sama seperti yang saya bawa, namun bedanya ada beberapa nampan dan piring-piring besar untuk menaruh oborampe.

 

 

“Beliau ini ndoro Tumenggung yang masih keturunan dari Panembahan Senapati, beliau lebih suka disebut sebagai Joyo Negoro daripada nama aslinya”
Ngapunten, mbah Wiryo ini mengada-ngada saja, maaf kalau terlambat tadi, maklum, ibu nyai biasanya tidak pernah ikut namun kali ini ikut, dia jadinya jalan timik-timik,” sambung beliau dengan nada yang enak sekali di dengar meskipun bahasanya tidak formal.
“Beliau ini memang sering sowan ke sini, boleh saya cerita sedikit ndoro nggung?,” kata mbah Wiryo.
Monggo mbah, tapi jangan di besar-besarkan lho ya,” kata Tumenggung sambil mengeluarkan pipa dari balik bajunya.
“Dikisahkan, setelah Panembahan Senopati mengadakan perjanjian agung dengan Kanjeng ratu kidul maka beliau menguasai tanah Jawa. Dalam arti telah menyetubuhi tanah Jawa atau juga bisa berarti Nusantara. Juga yang menjadi pemimpin yang berwatak satria sakti terkenal (Satriya dibya sumbaga) adalah keturunan Senopati pula. Keturunan dalam arti mewarisi ajaran-ajarannya. Maka hal ini sangatlah pantas menjadikan beliau sebagai teladan yang baik budi pekertinya. Perlu di cermati bahwa ajaran Panembahan Senopati yang “menyetubuhi” Kanjeng Ratu Kidul yaitu menjadi pemenang atas diri sendiri (Senopati ing alaga). Terlepas dari segala mitos dan legenda yang berkembang di masyarakat. Maka dari itu terapkanlah menjadi pemenang atas diri sendiri dari ego kesombongan dan keduniaan. Di jaman kita ini sebisa mungkin seperti di jaman dulu. Maka tersiar kabar angin kalau Ratu Adil merupakan anak turun dari Panembahan Senopati itu sendiri, keturunan yang dimaksud adalah kelanjutan dari persetubuhan dengan alam.
“Untuk mencapai itu maka perlu dituntun agar bisa menghayati dan memaknai lalu supaya bisa menindak lanjuti watak-watak Hastabrata,” tiba-tiba terdengar suara sayup-sayup dari jauh tetapi terdengar jelas seolah berdengung di dalam telinga kami.
“Assallamu’alaikum Ki Lurah,” Tumenggung tiba-tiba bersimpuh dengan hikmat yang kemudian diikuti oleh yg lain. Serentak, kamipun beringsut menata posisi duduk bersila dengan takdzim, sambil berusaha mengamati asal suara tadi.

 

 

“Tumenggung ini benar-benar ampuh, saya yang merasa punya pengamatan tajam ternyata masih kalah jauh,” belum sempat selesai mbathin, terlihat Tumenggung tersebut menghaturkan sembah. Yang lain pun mengamati arah yang disembah tidak kelihatan apa-apa.
Yo, tole, pangestuku tampanono,” bersamaan dengan terdengar suara lembut itu, sosok Eyang terlihat menaiki tangga pendapa. Kami pun serempak menghaturkan sembah yang disambut dengan tawa khas beliau.
“Ya ya ya, semuanya aku terima tole, duduklah yang nyaman, maaf agak terlambat,” begitu kata eyang sambil duduk di sebuah batu hitam. “Dari mana asalnya batu itu ya,” batin saya. “Perasaan dari tadi tidak ada, namun memang seolah oborampe yang ditata tadi melingkari suatu tempat kosong,” saya lihat eyang mengangguk kearahku.
“Lama tidak jumpa disini tole
“Mohon dimaafkan eyang, karena baru saja saya dapatkan apa yang pernah eyang dulu wasiatkan”
“Ya ya ya, aku melihatnya di balik jubahmu”
Saya pun mendekati eyang sambil mengeluarkan penjalin petuk ganda “meniko eyang,” sambil saya mengulurkan salah satu benda yang sekarang menjadi salah satu koleksi simpanan PSj.
Entah bagaimana, tiba-tiba benda itu sudah ada di tangan eyang, di pegang dengan kedua tangan, di angkat sedikit di atas kepala sambil komat kamit baru diserahkan kembali.

 

 

“Falsafah dari penjalin petuk itu adalah kau akan dipetukke (dipertemukan) dengan orang-orang yang memang ditakdirkan untuk bertemu dengang mu, nanti bila sudah tiba masanya,” saya hanya mengangguk.
“Ki Demang,” sahut eyang.
Sediko dawuh eyang,” yang disebut segera mendekat. Saya mencoba mundur tetapi orang yang berkerudung sarung duduk persis di belakang saya, sehingga tidak bisa mundur.
“Ini eyang, wasiat yang pernah eyang sampaikan ke saya,” kata demang sambil menulurkan tangannya. Terlihat seleret sinar biru meloncat dari tangannya yang kemudian pindah ke tangan eyang.
Sinar biru menyala agak terang, sesaat kemudian redup, dalam cahaya yang samar terlihat sebuah pusaka luk tiga. Panjangnya tidak sampai sejengkal. Seperti tadi, pusaka tersebut diangkat beliau sedikit diatas kepala sambil komat kamit sebentar lalu diserahkan ke ki demang lagi.

 

 

“Kyai Pragat dapur jangkung ini yang akan memberi tuntunan kepada “Nya” untuk bisa memenuhi segala kewajiban yang disandangkan kepadanya, rawatlah baik-baik, kelak apabila lenyap dari perbendaharaanmu berarti engkau dan segenap kerabat keraton mulai berkemas”.
Sendiko dawuh eyang
“Ketut Warse”
“Saya eyang,” terdengar suara kaku dari belakang saya. Ternyata yang dipanggil adalah lelaki yg selalu berkerudung sarung. Belum selesai saya menggeser badan untuk memberi jalan, selarik cahaya kuning keemasan melesat dari balik jubah Ketut Warse yang sepertinya juga terkejut ketika benda yang akan di serahkan seolah meloncat sambil mengeluarkan bunyi berdengung keras.
Kali ini saya lebih waspada dan berhasil mengenali benda yang melesat itu, sebuah cakra yang rodanya berputar keras, putaran cakra tersebut sepertinya yang mengeluarkan bunyi tadi.

 

 

Kali ini eyang berdiri, cakra tergenggam erat di tangan kanannya, mengeluarkan cahaya redup seperti kunang-kunang. Sesaat kemudian eyang menangkupkan kedua tangannya dengan gagang cakra di antara telapak tangannya sehingga cakranya masih terlihat tetap tidak berputar, diangkat tinggi-tinggi diatas kepala. “Cakra Bayu,” desis suara bergetar pelan tapi jelas terdengar di situasi yang begitu mencekam, saya mengenali itu suara Ki Demang Joyo Negoro.

 

 

Setelah menerima kembali cakra bayu, orang yang bernama Ketut warse itupun kembali berkerudung sarungnya.
“Orang aneh,” bisik saya dalam hati, sepertinya dia tidak ingin dikenali.
“Silahkan dinikmati hidangannya,” kata eyang memecah kesunyian. Tapi tidak ada yang bergeming, semua masih tetap duduk dengan hikmat. Seperti diketahui bahwa eyang tidak pernah lapar, tidak pernah capek juga tidak pernah tidur, karena itu beliau tidak menjamah makanan sehingga kitapun jadi segan kalau mau mengambil makanan.

 

 

“Kyai Bantar Angin”
“Saya Eyang”
“Kenapa masih saja kau simpan pedang itu”
“Maaf eyang, haruskah pusaka ini dihancurkan?”
“Kamu tidak rela kyai?”
Sendiko eyang”

 

Orang yang dipanggil Kyai bantar Angin merupakan sosok yang mungil, perawakannya kecil namun terlihat gesit, usianya menginjak 70 tahun namun kelihatan masih bugar. Dari bisik-bisik tadi sore mereka hanya mengenalnya sebagai penjaga makan panjang dari gunung Tidar. Beliau lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain putih, agak panjang, setelah dibuka, terlihat warangka sebuah pusaka yang keseluruhannya terbuat dari perak dengan ukiran halus dan berkilat-kilat, menandakan kalau dirawat dengan sangat baik. Perlahan pusaka itu diberikan ke eyang, yang menerima sambil tetap duduk di batu hitam, kami seolah tak berkedip saat eyang mulai menghunus pusaka itu.

 

Begitu dihunus, hampir serempak kami terhenyak kebelakang, hawa dingin “miris” menyebar dengan cepat. Tercium bau anyir yang kuat. “Pedang Kyai Luwuk,” kali ini hampir semuanya mengenalinya, warnanya hitam kelam, bentuknya seperti bedok/golok terbalik, panjang wilahnya sekitar 35cm, dibagian yang tajam, mulai dekat gagang ke ujung ada pamor warna kuning tembaga setengah lingkaran yang disebut setengah matahari yang ini jumlahnya 5, itu yang membuat saya berdebar. Ternyata pusaka ampuh yang konon telah memporak porandakan pasukan Majapahit dengan korban nyawa tak terhitung itu ternyata masih ada.

 

 

“Kyai memelihara dengan baik”
“Maaf kalau kurang sempurna eyang, mendapatkan ayam cemani yang sesuai sekarang tidak mudah,” eyang mengangguk-angguk dengan puas. Seperti diketahui bahwa pedang yang wujudnya sangat sederhana ini punya daya yang mengerikan. Dari jumlah mataharinya menunjukkan kalau 5 gadis yang menjadi tumbalnya, apabila saat memandikan ada kesalahan misalnya darah ayam cemani ternyata tidak murni, bisa dipastikan darah dari yang memandikanlah yang akan diserap. Apabila kebanyakan pusaka direndam racun warangan sebagai penguat daya bunuh, maka pedang ini minta diolesi bisa ular luwuk. Warangka maupun pegangannya harus dari perak asli, kalau tidak maka bisa Ular akan merembes dan bisa mencelakakan yang memegangnya.
“Kyai tidak keberatan kalau pusaka ini aku bawa?”
“Sama sekali tidak keberatan eyang,” dengan selesainya ucapan Kyai Bantar Angin pusaka itupun lenyap, saya yang mengamati dengan teliti tidak melihat kemana arahnya pusaka tadi.

 

 

“Mari dinikmati hidangannya,” kata mbah Wiryo yang langsung menggeser oborampe ke tepi, beberapa yang hadir juga mulai tidak sungkan lagi untuk mulai mengambil makanan.
“Lha wong makanan dibawa sendiri kok malu, hayo dihabiskan,” kata eyang membuat yang lain juga pada ikutan, maka sejenak suasana jadi mulai hidup.
“Maaf eyang, suatu kehormatan bagi kami bisa mengemban dawuh panjenengan demi pulihnya negeri ini. Selain menyimpan pusaka yang telah kami dapatkan, apalagi yang bisa saya kerjakan,” tanya Ki Demang setelah minum seteguk kopi pahit.
“Banyak yang masih harus disiapkan tole, banyak juga yang harus dikerjakan dan dikorbankan. Ingatlah apa yang aku pesankan kepada kalian, didiklah anak-anakmu, kenalkanlah junjunganmu kelak akan watak-watak Hastabrata yang menjadi landasan bagi pengarep negeri ini”
Sendiko dawuh eyang”
“Aku pamit dulu dulu ya ngger, besok di waktu yang sama aku akan kembali”
Sumonggo nderek’aken eyang,” jawab kami bersamaan.
Setelah mengangguk pada yang hadir, eyang pun lenyap. Begitu juga batu hitam yang diduduki beliau.
“Ki Demang, bisakah menjelaskan pada saya tentang Hastabrata yang dimaksud eyang tadi,” tanya Ketut Warse penasaran.
“Kyai Bantar Angin sepertinya yang lebih mengerti dari pada saya, monggo Kyai,” kata Tumenggung mempersilahkan. Sesungguhnya lah Tumenggung itu lebih faham karena Beliau adalah Pangeran trah Panembahan Senopati. Meskipun lebih senang disebut Tumenggung, Kyai Bantar Angin tidak mungkin bisa menolak purbowaseso yang di tujukan padanya, maka setelah mengangguk sebentar Kyai pun memulai wejangannya.
“Sebelumnya mohon ingatkan kalau ada yang kelewatan ataupun yang tidak sesuai pakem umum,” setelah menghela nafas agak panjang, beliau melanjutkan, “Hastabrata merupakan piwulang luhur yang menjadi pedoman dasar perilaku, yang membentuk pimpinan dari jaman dahulu”

 

Bersambung ke Oleh-Oleh dari Padepokan Klampis ireng Part 2

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »