Kyai Bantar Angin bergeser agak ke tengah baru kemudian melanjutkan wedarannya, “Hastabrata merupakan cermin dari perwatakan 8 dewa yang bisa dijadikan pegangan bagi penguasa. Pertama adalah Watak Bathara Wisnu yang merupakan dewa keabadian dan kesejahteraan. Bathara Wisnu itu berwatak tanah, sifat dari tanah adalah tawaduk atau andhap asor. Tanah juga salah satu unsur yang menghidupi dari kehidupan diatasnya bahkan tanah bisa lebih penting dari udara. Tanah juga berwatak menjadi sandaran bagi aktivitas makhluk yang diatasnya, tanah juga yang mendaur ulang segala sampah-sampah manusia dan tanah juga yang menerima cacian dan makian.”
“Pemimpin yang berpedoman pada perwatakan Bathara Wisnu maka akan memperlakukan rakyatnya dengan kasih sayang tanpa pandang bulu,dia juga akan rendah hati terhadap rakyat yang dipimpinnya, memberikan kesejahteraan dengan cara pengelolaan sistem pemerintahan yang beramanat kepada semua lapisan rakyat, kuat dan sabar menerima kritik, cercaan dan hinaan serta menjadi sandaran dan tumpuan yang kokoh bagi seluruh rakyatnya, bukankah begitu Gusti Tumenggung?,” tumenggung yang ditanya hanya manggut-manggut
“Silahkan dilanjut ke perwatakan yang kedua Kyai” sela mbah Wiryo tidak sabar. “Perwatakan kedua adalah memahami sifat Bathara Bayu. Yakni dewa angin yang tentu saja berwatak udara atau angin. Udara itu berwatak bisa menelusup kemana saja, wataknya lembut selembut angin yang sepoi-sepoi tapi bisa berwatak keras seperti angin topan yang menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Salah satu peranan udara yang penting adalah menjadi tak terlihat, udara itu tidak terlihat tapi sangat penting bagi kehidupan, apabila udara terlihat maka pemandangan kita akan tertutup oleh udara itu sendiri. Sehingga pemimpin yang memahami perwatakan Bathara Bayu, dia akan memimpin dengan luwes bisa menelusup dan bergaul kesemua lapisan masyarakat atau tidak jaim. Berwatak lembut terhadap wong cilik dan keras terhadap wong licik, monggo kalau mau ditambahkan,” kata kyai sambil mengamati kami satu persatu.
“Yang ketiga adalah menauladani sifat Bathara Baruna. Yakni dewa laut atau samudera yang berwatak air. Sebagaimana kita tahu air itu berwatak sujud sempurna, apabila kualitas sujud kita sudah sempurna maka ibarat kita sujud dibawah tiang Arsy Nya Allah. Sebab tiang penyangga Arsy atau dampar kencanaNya Allah itu ditopang oleh air, tentu ini sebuah kiasan yang memerlukan pemaknaan lebih dalam. Salah satu sifat air adalah bening tapi kelihatan dan airlah unsur terpenting dari kehidupan, konon kehidupan pertama kali ada di dalam air. Air atau samudera menjadi tempat tujuan akhir dari semua sungai dengan segala kotoran yang dibawanya. Dengan air lah maka pelangi bisa timbul karena butiran-butiran air hujan yang memendarkan cahaya matahari yang berwarna putih menjadi tujuh warna pokok pelangi, maka air bersifat mengejawantah. Apabila air yang membeku menjadi salju maka tidak ada satupun butiran salju yang sama dari ber-trilyun-trilyun butiran salju di dunia ini, maka air berwatak menjadi diri sendiri. Apabila memahami perwatakan Bathara Baruna maka seorang pemimpin akan mempunyai kebeningan hati dan pikiran sejernih air embun. Pemimpin itu harus mempunyai watak kesempurnaan sujud yaitu siap untuk “di lenggahi” atau di duduki oleh ke Maha Kuasaan Allah. Dalam hal ini menjadi kepanjangan tangan Allah tanpa mengaku-aku sepihak. Pemimpin harus bisa menampung segala keluh kesah masyarakat dengan kesabaran hatinya yang seluas samudera. Pemimpin itu harus bisa mengejawantah segala petunjuk Illahi untuk diwujudkan kedalam program-program pemerintahannya. Lebih tepatnya lagi, “Mendengar suara Tuhan dibalik suara rakyat.” Pemimpin harus gigih dan tidak mudah putus asa seperti aliran sungai yang berkelok-kelok akhirnya menuju lautan juga. Pemimpin itu harus menjadi diri sendiri tanpa meniru-niru orang lain hanya kulitnya saja, apalagi sampai mencontek konsep negara lain untuk di adopsi ke negaranya sendiri tanpa kajian yang mendalam.”
“Ehem!,” tiba-tiba terputus oleh dehemnya Ki Demang.
“Mohon di ingatkan kalau nanti ada yang kelepasan lagi”
“Watak pemimpin yang keempat adalah watak Bathari Ratih yaitu dewi bulan yang berwatak menyinari bumi dikala malam atau kegelapan. Bulan juga yang menjadikan malam penuh kesejukan, walaupun sinar bulan itu pantulan dari matahari tapi keindahan bulan lebih indah ketimbang matahari maka dari itu bulan menjadi inspirasi bagi para sastrawan diseluruh dunia. Apabila bulan sedang purnama maka air laut akan pasang dalam arti air kehidupan manusia sedang naik”.
“Rupanya orang itu betul memperhatikan setiap detail perkataan Kyai Bantar Angin,” gumam saya.
“Leres sanget Ki Tumenggung, terimakasih atas bantuannya.”
“Sareh sak antawis poro kadang,” terdengar suara halus seorang wanita dari balakang. Ternyata Nyai Tumenggung yang bicara.
Setelah mengambil air, kami pun sholat berjamaah, alunan suara Kyai saat membacakan ayat-ayat suci begitu nyaman terasa di telinga, nadanya mirip orang baca kidung, terdengar mengalun di kesunyian pagi. Ternyata Nyai Demang tidak sekedar membawakan makanan penghangat, namun begitu banyaknya nasi sayur dan lauk yg dibawa orang-orang desa itu, suasana menjadi merih dan tanpa sungkan-sungkan kamipun segera bergabung menyantap hidangan. “Saat ini sepertinya kita istirahat dulu, saya dan beberapa teman juga ada keperluan ke bawah,” mbah Wiryo angkat bicara. “Dan yang masih menunggu hingga esok, silahkan beristirahat, maaf, mungkin menjelang maghrib saya baru bisa menemani.”
Saya masih ingat tempat itu, kira-kira perjalanan 1jam untuk sampai ke puncak bukit sebelah, tidak lebih tinggi dari bukit ini, namun pepohonannya sangat lebat. “Bolehkah saya menemani Ki Demang,” kata saya minta persetujuan. “Monggo ngger, lagi pula siapa juga yang berhak melarang yang mau kesana.”
Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 3
