“Maafkan saya tidak mengenali Kyai dari kemaren.”
“Kamu sekarang hebat,” kalimatnya mengalit dengan sedikit bergetar, meskipun masih sambil senyum, ada yang menggenang dibalik kelopak mata beliau. Sekali lagi saya menghaturkan sungkem yang tidak perduli di lihat orang yang berada disitu. Beliau adalah Kyai Khomarudin (purnawirawan), usianya lebih dari 100 tahun, namun gesit luar biasa. Saya mengenal beliau sekitar 12 tahun yang lalu ketika berburu ilmu. Hampir semua sesepuh pengawal cendana saya coba datangi. Menurut saya, beliau inilah dukun cendana yang paling sakti dan paling dekat dengan keluarga cendana sampai sekarang. Beliau juga yang mengeluarkan Jend. Ahmad Yani dari Lubang Buaya yang sempit.Dengan cara di ikat tali di pinggang dan diturunkan dengan posisi kepala di bawah. Beliau dipilih diantara tentara yang lain mungkin karena sosoknya yang mungil itu. Beliau juga yang mendapatkan kehormatan menurunkan Ibu Tien ke liang lahat. Saya berkesempatan menimba ilmu kepada beliau selama setahun, tinggalnya jauh di pedalaman hutan karet di Palembang. Meskipun mendapat rumah di belakang cendana, beliau pilih tinggal di dalam hutan karet miliknya yang luas sekali.
Ada satu warisan beliau yang tersimpan rapi, sebuah cakra yang semasa masih mudanya digunakan untuk mengangkat pusaka dan mengeluarkan harta yang tersembunyi.
Mulanya beliau menamakan diri Ki Jagad Pamungkas. Ketika nderek’aken beliau (RI 1 alm) ke Imogiri, disana mendapat wangsit untuk mengganti sebutannya dan kelak berhak dimakamkan di kompleks pemakaman abdi dalem, begitu yang saya dengar. Salah satu keistimewaan beliau adalah Aji Pamling serta gondo mayit, sehingga bisa selalu memberi peringatan akan terjadinya banjir darah beberapa hari sebelumnya. Meskipun tetap senang di lereng Gunung Wilis, beliau juga dekat sekali hubungannya dengan Eyang Lawu.
Pertemuan tak terduga dengan Kyai Khomarudin, membuat saya membatalkan rencana naik ke petilasan Maha Patih. Apalagi Kyai Khomarudin yang biasa saya panggil simbah juga mengurungkan niatnya. Suatu kali beliau menepuk pundak saya, masih terasa betapa kuatnya tenaga dalam yang tersimpan ditubuhnya yang sepuh itu, beliau jarang makan, hanya ngopi dan rokok kretek seolah sumber energinya.
“Sepertinya siang nanti simbah akan turun gunung,” perkataan simbah itu membuat saya terpanjat.
“Bukankah simbah masih akan menemui eyang nanti malam seperti yang dijanjikan?,” kata saya berusaha mencegah.
Beliau tersenyum, wajahnya cerah sekali padahal semalam belum istirahat. “Simbah memang diberitahu eyang supaya datang kesini, dan sudah 3 hari disini tidak tahu apa kenapa diminta datang kemari, bahkan tadi malam pun beliau tidak mengatakan apa-apa,” kata eyang sambil terus melihatku.
“Simbah sudah melihatmu dari kemaren, dan maaf sengaja tidak menegur dahulu, kerena ingin tahu apa yang terjadi.”
“Maafkan saya mbah, karena mengutamakan kepentingan pribadi sehingga tidak begitu teliti mengenali, bukankah semalam kita berjabat tangan?,” saya tanya begitu simbah cuma tersenyum saja.
“Sekarang simbah tahu kenapa disuruh hadir kesini,” kata beliau sambil mengambil tas yang ada disamping beliau.
“Ayo, ikut denganku sebentar,” kata beliau yang langsung berdiri sambil menenteng tas, saya mengikuti dari samping kiri. Kami turun mendekati sumber air lalu mengikuti aliran air, tidak lama ada genangan agak besar ditumbuhi banyak tanaman lebat. Disela-sela bebatuan simbah menyeruak semak-semak dengan mantab seolah begitu paham hutan kecil itu. Ternyata agak sedikit ke atas ada ceruk yang lumayan besar, kami duduk ditanah terlindung tebing dan pepohonan.
“Bagaimana simbah mengatur nafas, kok tidak kelihatan lelah,” tanya saya sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan karena mengikuti langkah cepat simbah tadi.
“Laku Kidang Kencono, nanti akan simbah turunkan saat kembali dari sini,” kata beliau sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah buntalan terbungkus kain merah, dari bentuknya jelas itu warangka keris, ternyata benar, setelah dibuka bungkusnya, terlihat warangka gayaman yogya terbuat dari kayu timoho.
“Simbah sudah lama membawa ini, sekarang terimalah,” kata beliau sambil mengulurkan pusaka tadi, saya menerima dengan berdebar.
“Terima kasih mbah,” kata saya sambil mengangkat pusaka itu mendatar setinggi ubun, tidak terasa apa ditangan saya.
“Lihatlah,” kata simbah yang saya turuti. Pertama saya tegakkan warangka pusaka tersebut, lalu saya dekatkan di ubun-ubun sambil mengucap salam baru saya lolos pelan-pelan. Namun sedikit terkejut, karena seolah pusaka itu melompat keluar dari warangkanya, untung saya memegangnya agak kuat.
Ceruk yang kami duduki seolah seketika redup, hawa dinging dan panas silih berhanti, tangan saya sedikit bergetar. “Sapalah,” ketika saya ulangi lagi mengucap salam sapa, baru suasana sedikit mereda. Naga siluman luk sebelas, utuh, sepuh, garap dan pamornya indah. Yang membuat istimewa adalah jenggot sebesar rambut yang masih utuh dan yang membuat saya berdecak adalah cahaya kuning yang memancar dari mulut naga. Sebuah mustika dari emas menancap erat di mulut naga, nafas saya seolah tertahan melihat pusaka tersebut.
“Sarungkan ngger,” saya angkat ujung pusaka dan mendekatkan ke telinga, uluk salm baru saya sarungkan. Simbah mengulurkan kain merah pembungkus tadi agar dibalutkan lagi ke rangkanya, setelah itu beliau juga mengulurkan tasnya agar pusaka tidak terlihat.
“Apa maksud simbah dengan mewariskan pusaka ampuh ini?”
“Ini adalah salah satu pusaka Majapahit ngger, aku serahkan untuk kau teruskan perjalanan pusaka ini, simbah merupakan generasi ke-9 yang menyimpan pusaka ini sejak runtuhnya Majapahit”
“Lalu tugas apa yang dibebankan pembawa pusaka ini mbah?”
“Kelak ini harus kau kembalikan ke kraton ngger, ingat, kembalikan ke asalnya yaitu saat dibangunnya kembali pura di petilasan kraton di Jawa, yang paling mudah dikenali yaitu nanti disana akan terpahat Surya Majapahit, itu pertanda semua pusaka yang “mencar” di segala penjuru nusantara harus kembali.”
“Insya’allah mbah.”
“Ceritakan ini ke anakmu atau pewarismu, agar tahu kemana ini dikembalikan,” saya hanya menunduk sambil terharu mendapat purbowaseso yang demikian. Saat ini pusaka tersebut tersimpan di ruang penyimpanan benda pusaka PSj, beberapa murid juga sudah pernah melihatnya.
Singkat cerita setelah mendapat petuah panjang lebar, beliau mengajak kembali ke pendapa, seperti yang beliau janjikan maka diturunkanlah ilmu Kidang Kencono sehingga perjalanan menjadi cepat dan badan terasa ringan saat harus menerobos semak dan meloncati bebatuan. Ilmu ini sekarang juga sudah mulai dikuasai oleh murid-murid utama PSj.
Ternyata suasana di pendopo sepi sekali, mungkin semuanya menuju ke petilasan, hanya ada beberapa orang kampung yang memasak.
“Sampaikan salamku pada semuanya ya ngger, simbah akan langsung kembali ke pedalaman Sumatra.”
“Nderek aken mbah,” kata saya sambil mencium tangan beliau. Maka beliaupun turun bukit dengan cepat, seolah memamerkan, bagaimana menggunakan ajian Laku Kidang Kencono.
“Pastikan langkahmu, atur kemiringan tubuh, jangan ragu-ragu meskipun melompati parit yang terjal, jangan takut kakimu terluka kalau mesti menerjang semak maupun batu karang, pengendalian Laku Kidang Kencono ada di pernafasan,” suara itu sayup tapi terdengar jelas sekali. Itu salah satu aji pameling yang belum sempat diturunkan simbah padaku karena lelakunya yang panjang.
“Matur suwun mbah, sungkem saya buat mbah putri.”
“Ternyata kau kuasai pecuting lati dengan baik,” sahut beliau dari jarak yang sangat jauh, ternyata beliau dengan mudah mengenali ajian yg saya gunakan mengimbangi aji pamelingnya.
Ajian ini sesungguhnya sudah lama sekali saya miliki, kira-kira 9 tahun yang lalu ketika perjalanan menemukan jati diri bersama kang Sapta Geni. Tepatnya kami dapat saat blusukan ke umbul Gedhong di Klaten Jateng. Saat siang hari kami secara tidak sengaja melihat tembok yang terkubur sebuah candi. Malamnya kami datangi tempat tersebut, ternyata benar. Begitu bunga telon kita buka dan dupa gunung kawi kami nyalakan, maka kelip-kelip cahaya mulai bermunculan dari segenap penjuru. Dengan gerak roso kami mengikuti kemanapun kaki melangkah, lalu berhenti di sebuah gundukan kecil dekat kandang kambing. Sekali lagi kita bakar dupa dengan lebih banyak, bermeditasi dengan hening. Pertama yang terlihat adalah sosok resi, pakaiannya putih bercahaya, setelah subasita semestinya beliau memperkenalkan diri sebagai pendamping raja. Lalu perlahan baru terlihat junjungan beliau ternyata Bandung Bondowoso, sosoknya ngganteng, kulitnya putih bersih, gagah dan sangat berkharisma. Ternyata disitulah petilasan beliau saat mengintai kekuatan dari Prabu Boko, sedangkan untuk berkomunikasi dengan telik sandinya yang ada di Prambanan. Beliau menggunakan aji pecuting lati, dari beliaulah ajian ini kami dapatkan. Namun memang sekian lama tidak berani menggunakan karena bila di rapal, selain bisa menembus jarak, juga apa yang diucapkan bisa terjadi, inilah yang berat.
Kembali ke klampis ireng, saat itu sdh menjelang Ashar tgl 1 suro, suasanan masih lengang krn belum pda plg dr petilasan Maha Patih. Angin semilir mengingatkan kalau dari kemarin belum sempat beristirahat. Dengan membawa tas berisi Pusaka Naga Siluman saya coba untuk beristirahat barang sejenak. “Kopi gan,” suara dengan nada merendah itu dari salah satu orang kampung yang tadi masak-masak. “Terima-kasih pak,” sahut saya cepat sambil menerima cangkir kopi.
Sulit sekali memejamkan mata, setiap kali mata mulai terpejam, maka suara berisik dari alam yang ada di sekitar mulai terdengar, selalu begitu berulang-ulang. Setelah saya ingat-ingat, ternyata ajian pecuting lati memang belum sepenuhnya kututup, mengingat itu sengaja saya rebahan sambil memasang telinga. Ternyata untuk mendengarkan jarak jauh harus difokuskan pada arah tertentu dan jarak tertentu juga.
“Mulai asik,” bathin saya, yang segera duduk bersandar dan coba mengenali suara-suara yang terdengar.
Dari suar-suara yang tertangkap, ada suara yang menarik, seperti orang yang sudah bergumam, nadanya halus, namun sesekali ada nada berat yang menimpali. “Kewajiban manusia hidup itu apa sih kung,” saya coba mendengar lebih khusuk karena yang terdengar selanjutnya adalah suara yang halus. “Tidak banyak cu, tapi memang suci.”
“Apa saja itu kung”
“Pertama harus takwa kepada Tuhan, sebagai warga negara harus Patuh dan taat hukum, turut menjaga ketenteraman bangsa dan negara, menolong siap saja tanpa pamrih, berani menghadapi tantangan hidup atas dasat kekuatan yang dimiliki, bermasyarakat dengan mengutamakan rasa setia kawan dan bisa membawa diri dan mempercayai bila kehidupan ini selalu berubah.”
“Repot amat kung, bukankah manusia juga bakalan mati, kalau sudah mati kan hilang.”
“Yang hilang itu raganya cu, namun manusia mempunyai ruh atau ruhani yang berasal dari sinar cahaya Yang Maha Kuasa yang bersifat abadi.”
“Yang kung kemarin bilang, kalau selain Tuhan itu mahluk dan karena manusia itu makhluk, maka baik ruh maupun jasadnya tidak ada yang abadi,” selanjutnya terdengar suara ter kekeh-kekeh dari yang disebut yang kung.
“Pinter, ingat cu, kenapa yang kung mengatakan ruh itu abadi, karena pada diri manusia terdapat ‘persatuan dua unsur’ yaitu unsur jasmani dari tanah dan unsur ruhani yang mereka dakwakan sebagai cahaya Allah yang abadi, hal itu disebut dengan Panteisme, yakni bersatunya unsur Tuhan (Laahut) dan unsur manusia (Naasut). ruh itu azali (qadim).”
“Mumet kung, dunia itu ada berapa sih?”
“Dunia itu ya satu, tapi alamnya ada 3, pertama alam Wajar yaitu alam dunia sekarang ini kedua alam yaitu alam langgeng atau alam kasuwargan, yang ketiga adalah alam Halus yaitu alam tempat roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) karena tidak sanggup langsung menuju alam keswargaan. Roh-roh tersebut berasal dari manusia yang selama hidup di dunia banyak berdosa, dan yang nguping, silahkan bergabung bila tidak berkeberatan,” suara yang terakhir itu mengagetkan karena seolah dekat sekali dengan telinga saya.
“Maafkan saya Yang Kung,” jawab saya sekenanya karena malu ketahuan nguping pelajaran beliau.
Ketahuan mencuri dengar tadi membuat saya intropeksi, dimana kesalahannya sehingga bisa ketahuan? Ataukah karena kesaktian beliau? Ataukah saat mendengarkan tadi ada energi yang terpancar sehingga bisa tertangkap?
Karena penasaran, setelah membersihkan diri saya mencoba lagi, kali ini dengan posisi manembah bumi, sehingga gelombang pecuting lati tidak merambat melalui udara tetapi melalui tanah. Kali ini saya arahkan lurus ke timur. Ketika merasa ada sedikit benturan, saya paham berarti telah memasuki tlatah alas Purwo. Supaya lebih sopan saya sertai dengan ragasukma, maklum ditempat itulah banyak bersemayam leluhur tanah Jawa. Ada sebuah sendang yang di namakan sendang Pangapit. Ternyata adalah sebuah mata air yang membentuk dua sendang dan ditengahnya ada seperti tempat bersuci, ada beberapa orang yang sedang asyik bercengkerama, saya amati dari pakaiannya tidak ada yang aneh, persamaannya adalah pada timang yang mereka pakai ada lukisan kembang wijaya kusuma, saya mengenalnya sebagai kelompok kepercayaan W**** S***** yang merupakan sempalan dari R*** S***** yang berpusat di Yogya, entah dalam rangka apa mereka berkumpul disini.