Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 4

 

Tiba-tiba semuanya terdiam, seorang lelaki dengan tubuh yang gempal mendekati mereka, usianya sekitar lima puluhan, kakinya kelihatan ringan sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang bongsor.
Sugeng rawuh Guru,” yang dipanggil guru hanya mengangguk lalu dengan enaknya duduk di antara mereka.
“Apakah benar ini tempatnya guru?”
“Ya, tepat dimana aku duduk,” terdengar suaranya sedikit melengking namun tegas.
“Bisakah kisahnya dimulai guru?,” kata seseorang yang usianya lebih tua dari yang di panggil guru.
Kisah ini bisa dianggap cikal bakal Pulau Jawa, saat masyarakat masih memeluk agama Hindu, dikisahkan oleh eyang guru dari guru-guru sebelumnya secara turun temurun. Bahwa Aji Saka memiliki 2 saudara, beliau paling tua lalu adiknya yang tengah bernama Aji Sakti dan yang ragil bernama Aji Putih, sesungguhnya mereka itu kembar merupakan putra dari Raja Sungging Perbangkala dengan Ibu Ratu Dewi Arumba kerajaan dari India ketiganya mempunyai kesaktian dan kepandaian yang setara. Sehingga membuat Raja kesulitan menentukan siapa yang akan mewarisi tahta, maka di adakanlah sayembara. Barang siapa yang bisa menemukan Kembang Cangkok Wijaya Kusuma, dialah yang akan di nobatkan sebagai raja. Maka mereka disuruh mengamati kembang yang akan diperebutkan. Saat ketiganya sudah siap, maka tiba-tiba kembang itu melesat cepat sekali. Pada saat yang bersamaan, ketiga putra mahkota itupun melesat mengikuti arah hilangnya pusaka tadi. Saya lihat dari tempat tersembunyi, beliau menarik nafas panjang.

 

Sampailah pada satu masa setelah berbulan-bulan mengejar akhirnya mereka tiba di pulau Jawa. Saat itu pulau Jawa merupakan alas gung liwang liwung. Hingga mencari kembang itu tidaklah mudah. Singkat cerita seiring dengan waktu, ternyata yang menemukan pusaka itu adalah Aji Putih. Lalu dicarinya kedua kakaknya untuk mengabarkan penemuannya, yang pertama kali ditemukan adalah Aji Sakti, dan dikatakan oleh Aji Sakti bahwa ini adalah kehendak Sang Hyang Wenang (Tuhan bahasa sekarangnya). Maka merekapun mencari kakak tertuanya yaitu Aji Saka, begitu melihat congkok wijaya kusuma di tangan adiknya yang terkecil, maka nafsunya dan cenderung iri merebut pusaka itu dari Aji Putih tetapi ditahan oleh Aji Sakti sehingga tetap dipegang oleh Aji Putih. Pada saat itu Aji Putih mengatakan kalau memang kakak sulungnya menginginkan pusaka akan diberikan. Aji Saka mengatakan itu memang hak dia sebagai kakak tertua tetapi ditolak ole Aji Sakti dengan mengatakan sesuai dengan pesan dan janji dari ayahanda bahwa yang menemukan pusaka akan dijadikan raja maka Aji Putihlah yang berhak menjadi Raja. Maka terjadilah perang mulut dan perang fisik diantara keduanya sementara Aji Putih tetap pasrah dan ikhlas. Disini ditunjukkan bahwa pasrah dan ikhlas yang tawadu pasti menuai hasil yang baik. Guru itupun menghentikan kisahnya sambil menoleh ke arahku.

 

“Kisanak, silahkan bergabung bila sudi,” kali ini suaranya halus sekali, karena tidak enak ketahuan saya mencoba mendekat.
“Guru bicara dengan siapa?,” tanya murid heran, karena ternyata mereka tidak melihat keberadaanku, namun sepertinya guru tersebut tidak menanggapi, sorot matanya menetap tenang.
“Silahkan duduk disebelah sini kisanak,” kata beliau sambil bergeser sedikit.
“Maaf kalau saya lancang,” kata saya sehalus mungkin, beliau masih melihat dengan teliti
“Saya anak murid Eyang Sekarjagad,” saya coba memperkenalkan. Beliau manggut-manggut lalu mengulurkan tangan.
“Selo Kambang atau anak-anak biasa memanggilku Ki Ageng Selo Kumambang,” mari duduk, biar saya melanjutkan cerita.
“Silahkan Ki,” kata saya yang tidak di dengar oleh murid-murid beliau.

 

“Perang antara kakak-adik terus terjadi tidak ada yang menang dan yang kalah sampai waktu bertahun-tahun sampai berabad. Karena bosan berperang, Aji Saka akhirnya pergi ke timur tepatnya daerah Banyuwangi (Alas Purwo). Disitulah Aji Saka merintis dan mendirikan kerajaan Daha, Aji Putih mendirikan kerajaan Galeuh Pakuan sedangkan Aji Sakti mendirikan kerajaan Pajajaran yang sebenarnya hanya seolah-olah. Maksudnya mendikan kerajaan tetapi tidak menjadi raja (jadi Pandita) dan selalu melindungi adiknya dari serangan Aji Saka. Aji Sakti mempunyai 2 anak yaitu Dewi Sri Pohaci (sering dipanggil Cinde Maya) dan Jaka Manggala. Karena kecantikan Dewi Pohaci, banyak pria terutama kaum bangsawan menginginkannya menjadi calon istri mereka sehingga dibuatlah sayembara oleh Aji Sakti siapa yang dapat mengalahkan kesaktian Jaka Manggala maka akan ditunjuk sebagai suami Dewi Sri Pohaci. Seiring waktu, kesaktian Jaka Manggala tidak dapat dikalahkan oleh pria manapun sehingga membuat Dewi Sri Pohaci merenung dan sedih memikirkan nasibnya. Sikap Dewi Sri Pohaci inilah membuat Jaka Manggala merasa bersalah tetapi dia sangat mencintai kakaknya sampai kapanpun, “

 

“Silahkan dinikmati hidangannya kisanak.”
“Terima kasih Ki, silahkan dilanjutkan,” jawab saya.

 

Langsung menuju ke pendapa dahulu, ada juga warungnya disana dan bisa nitip parkir mobil. Jangan lupa siapin bekal makan minimal untuk 3 hari. Bila telah mantab, gunakan ilmu yang saya ajarkan untuk menemukan sendang pengapit, sendang kabar atau ada juga yang menamakan sendang pengantin. Percaya atau tidak, gampang-gampang susah menemukannya, tidak akan ketemu bila tidak diijinkan.

 

Ada ilmu rahasia yang sudah lama punah. Saat bersiap mulai lelaku disana, ucapkan mantra ini sambil jongkok dan tangan kanan menapak tanah sedang tangan kiri ditekuk ke belakang, tumpukan berat badan ke tangan kanan yang menapak tanah sambil membaca “Bopo Adam Ibu Qhowo cikal bakal kang mbakali alas purwo iki, aku ape takon, opo oleh aku ngecakke laku siji loro, opo oleh aku ngecakke laku siji loro..,” berulang-ulang. Apabila badan terputar ke kanan berarti boleh namun kalau terpuntir ke kiri berarti tidak boleh.
Langkah siji loro adalah langkah ajaib yang hanya bisa berfungsi maksimal bila dilakukan disana. Penggunaannya adalah boleh disertai laku kidang kencono, sapi angin atau gerak roso yang pernah saya turunkan. Apabila tidak juga menemukan yang dituju, saat kaki kanan melangkah bilang dalam hati “siji” lalu kaki kiri mengikuti. Saat kaki kanan melangkah lagi ucapkan “loro” lalu kaki kiri mengikuti. Saat kaki kanan mulai melangkah, ucapkan “siji” dan seterusnya. Maka kaki akan menuntun ke arah yg benar, terutama saat kembali, karena saat berangkat tidak tahu arah kemana sehingga saat kembali seolah kita berputar-putar, maka gunakan ilmu ini.

 

Saya tidak begitu memperhatikan ekspresi murid-murid Ki Selo Kumambang yang masih keheranan dengan apa yang dilakukan gurunya. “Setelah merenung dan berpikir, Jaka Manggala memutuskan akan menghilang dari hadapan Dewi Sri Pohaci agar dapat menikah dengan pria idamannya dengan syarat dia menghilang tapi tidak jauh dari kakaknya. Caranya? Dengan kesaktiannya, Jaka Manggala masuk ke dalam gua gharbo Kakaknya sampai ditemukan calon suami yang ideal buat kakaknya,” begitu beliau melanjutkan kisahnya.

 

“Maaf guru, berarti Jaka Manggala masuk melalui situ,” tanya muridnya keheranan.
“Ya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, sampai abad berganti abad. Masuklah masa Islam di tanah Jawa. Suatu hari Wali Songo memanggil Panembahan Senopati untuk memberitahukan peristiwa besar yang akan dialami oleh Panembahan Senopati. Dikatakannya Panembahan Senopati akan menemukan calon istri yang ideal tetapi ada petunjuk buat dia bahwa setelah menikah Panembahan Senopati dilarang untuk melakukan hubungan badan dengan istrinya selama 40 hari dan selama itu melakukan shalat Tahajud dengan amalan yang telah ditentukan.”

 

 

Beberapa murid Ki Ageng Selo Kumambang ternyata menyalakan perapian, “Sepertinya sudah menjelang malam,” gumam sukma saya. Namun begitu yang lain tidak ada yang beranjak, hanya sesekali menghidangkan makanan ataupun minuman. “Suatu hari ketika berburu di hutan, Panembahan Senopati bertemu seorang wanita yang sangat cantik sekali dan dia sangat terpesona akan tutur bahasanya yang santun. Akhirnya wanita itu diajaklah ke Istana.”
“Engkau tinggallah di sini diajeng, aku akan pergi beberapa hari,” begitu Panembahan berbicara pada wanita itu yang tak lain adalah Dewi Sri Pohaci. “Nderek aken kangmas,” tuturnya halus merasuk kalbu. Setelah itu Panembahan bergegas pergi untuk menemui para wali.

 

 

“Asalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum sallam waroh matullah,” sambut Sunan Kalijaga.
Setelah basa basi Panembahan mulai mengungkapkan keperluannya berkunjung. “Mohon maaf Kanjeng Sunan, saya bertemu dengan seorang wanita di sebuah hutan kemaren saat berburu,” kata-kata beliau terhenti ketika Sunan menyela.
“Dimana dia sekarang?”
“Saya ajak ke istana, kanjeng, mohon maaf, apakah dia wanita yang pernah panjenengan sami ramalkan akan menjadi istri saya?
Setelah hening beberapa saat, kanjeng Sunan membenarkan apa yang ditanyakan.
“Ingat, apa yang pernah kami sampaikan, jangan kumpuli dia sebelum genap 40 hari setelah menikah”
Inggih
“Jangan lupa juga dengan amalan yang mesti dibaca di kamar pengantin selama 40 hari.”
“Saya masih mengingatnya Kanjeng Sunan.”
“Bagus, segeralah pulang, 14 hari dari sekarang adalah hari yang baik untuk naik ke pelaminan.”
“Mohon berkah, barokah panjenengan sami.
Begitulah Panembahan Senopati mengakhiri kunjungan dan segera pulang ke Keraton.

 

 

Sepulangnya Panembahan Senopati, para wali pun berkumpul, membicarakan berita yang baru saja didengar, setelah musyawarah, maka dipanggillah menghadap Putra Sunan Kalijaga
“Anakku ngger Sunan Adilangu.”
Dalem romo.”
“Ketahuilah, tidak lama lagi akan terjadi peristiwa besar yang akan merubah tatanan di Pulau Jawa ini, maka dari itu, kami memutuskan agar engkau mengemban tugas ini agar bisa berjalan sesuai yang kami harapkan.”
Inggih, tugas seperti apa yang harus ananda lakukan.”
“Ikutilah Panembahan Senapati dari jauh, jangan memperlihatkan diri bila kau rasa belum saatnya menemuinya.”
Sendiko dawuh, mohon do’a restu panjenengan sedanten.
“Berangkatlah sekarang juga ke Mataram.”

 

Ki Ageng Watu Kumambang menghentikan ceritanya, seolah ada yang menyesakkan dadanya “Begitulah kisah ini dimulai,” ujarnya melanjutkan ceritanya.

 

Empat belas hari setelah pertemuan dengan para Wali, Panembahan naik ke pelaminan bersanding dengan Dewi Sri Pohaci. Setelah acara usai dan mereka ke peraduan, Panembahan mengucapkan apa yang selama ini masih disimpan dalam hati
“Diajeng.”
Nuwun inggih kanjeng Panembahan.”
“Ada yang mau aku sampaikan yayi,” kata Panembahan dengan halus.
“Selama 40 hari aku akan duduk di lantai, engkau tidurlah di pembaringan,” kata-kata itu ternyata menghentakkan hati dan perasaan Dewi.

 

 

“Apakah salah saya Panembahan, hingga panjenengan menimpakan hukuman seperti itu pada hamba,” Kata Dewi sambil berlinang air mata.
“Maafkan aku yayi, engkau tidak bersalah, tidak ada yang salah, aku hanya menepati janjiku pada guruku, semata untuk kebaikan kita dan seluruh rakyat Mataram.”
Dewi Sri Pohaci dalam hati tentu tidak bisa menerima, namun dengan menunduk sopan dia menjawab, “Segala yang terbaik buat Panembahan dan rakyat Mataram harus diutamakan Panembahan, meskipun untuk itu saya harus menjadi banten.”
“Tidak ada yang menjadi banten yayi, 40 hari bukan waktu yang lama,” karena tidak mungkin bisa menolak, maka naiklah Dewi Sri Pohaci ke pelaminan seorang diri, Panembahan Semopati sangat terharu, dan berjanji dalam hati untuk membahagiakan istrinya.

 

Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 5

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »