Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 10

Hampir saja panembahan turun dari singasana kalau saja “Bisa”, sang ratu yang duduk dengan tegak berwibawa di samping kirinya, entah kapan memegang pergelangan tangan kirinya yang membuat badannya seolah tidak bisa di gerakkan.
“Nikmati persembahannya kangmas” kata sang ratna sambil mengerling pada suaminya.
Rupanya kanjeng ratu sudah bisa membaca gelagatnya panembahan ketika harus duduk lebih tinggi dari para tamu yg hadir.Kanjeng adipati berusaha tenang meskipun gelisah, betapa tidak, para tamu yang duduk di tengah adalah para raja dan ratu dari kerajaan-kerajaan besar, belum lagi para sesepuh yang berjajar di barisan kanan.Sedang yang sebelah kiri berjajar panglima-panglima perang yang terlihat garang meskipun menggenakan pakaian gemerlap.

Panembahan mengangguk hormat sambil tetap duduk di singasana, terutama setelah matanya bertatapan dengan seorang resi berjubah putih sederhana, badannya sedang, agak kurus, kulitnya yang kecoklatan telihat halus dan bersih terkesan lemah dengan senyum yang seolah tidak terlepas dari wajahnya, matanya teduh dan dalam menenangkan.Ketika melihat panembahan seperti salah tingkah, senyum beliau semakin lebar dan sekali lagi beliau mengangguk hormat.Ya, beliau adalah Eyang Sapujagad dari gunung Merapi yang selama ini termasuk sesepuh yang banyak memberi petuah dan wejangan, bahkan dalam mengambil keputusan penting tidak jarang Panembahan naik ke Merapi untuk mohon saran beliau, berkat kepekaan mata bathin beliau maka segala keputusan bisa diterima baik oleh rakyat Mataram.

Kanjeng ratu seolah-olah tidak memperhatikan, pandangannya mengarah ke arah para penari gambyong yang melenggok dengan gemulainya, sang ratu seolah membiarkan panembahan menyesuaikan diri dengan posisinya sekarang di hadapan para tamu.Telapak tangan kanan sang ratu masih menggenggan pergelangan kiri panembahan, sepertinya belum sepenuhnya percaya kalau sang raja tidak turun dari singasana, setidaknya setelah mengenal semua para tamu.

Disebelah kanan Eyang Sapu Jagad duduk tegak membusungkan dada adalah Eyang Lawu, tubuhnya yang tinggi besar, dengan cambang yang tebal terlihat sangat berwibawa, sorot matanya tajam seolah menjenguk isi hati, kalau tidak meniatkan diri, panembahan bisa beringsut surut dari singasana.Eyang Lawu selama ini selalu hadir setiap kali panembahan risau atau sedang ada permasalahan.Tutur katanya berat dan tegas saat memberikan teguran atau memberikan salam. Dibawah bimbingan beliau maka Mataran menjadi kerajaan yang kuat dan disegani meskipun bukan kerajaan besar.Kalau saja tangannya bebas, niscaya panembahan sudah melakukan puja dengan menangkupkan kedua tangannya.Panembahan menjadi lega ketika bertatapan mata dengan Sunan Lawu, tidak ada teguran sebagaimana bila melakukan kesalahan, dengan begitu manandakan apa yang telah di lakukan memperoleh restu beliau.

Setelah degub jantung Panembahan mulai tenang, genggaman sang dewi pada pergelangan tangannya mulai longgar dan selanjutnya terlepas.Setelah menarik nafas dalam-dalam, panembahan mulai melihat tamu yang duduk rapi di barisan tengah, di tepi adalah seorang pria muda, tubuhnya tinggi agak kurus, namun duduknya tegak dan kokoh, meski muda ternyata sang pangeran sudah dikirim untuk perhelatan agung ini, pangeran Lodaya dari wilayah perbatasan wetan.Di sebelahnya, seorang kakek tua berjubah putih, Panembahan tidak bisa cukup mengangguk tapi juga sambil menangkupkan kedua tangannya, Eyang Kumitir penguasa gunung Kelud juga membalas dengan cara yang sama, di sebelahnya ada seorang wanita tua, dengan dandanan sederhana, tongkat hitamnya di taruh disamping kirinya, beliau penguasa gunung Wilis. duduk dengan anggun di sebelahnya duduk dengan anggun Ratu Kuwu, penguasa alas roban, penguasa pacitan dan penguasa-penguasa tlatah Jawa baik kerajaan manusia maupun kerajaan ghaib pada hadir, ada satu yang tidak hadir dari Jawa bagian barat.

Alunan gamelan rancak mengiringi gerak tari badaya yang di lakukan oleh para putri yang cantik, tubuh mereka seolah bersinar gemerlap dengan pancaran cahaya kuning dari hasil puasa 7 hari sebelum pentas dengan hanya menelan 1 kuntum kembang gading kuning tiap tengah malam, tidak heran bila selain cahaya kulitnya yang indah, juga semerbak harum tubuhnya seolah menyebar ke seluruh balirung.Dibarisan sebelah kiri, terlihat pria wanita dengan pakaian perang yang gagah, paling kanan dengan jubah perang berwarna hitam dengan hiasan kuning, segera menunduk dalam-dalam ketika panembahan mengamatinya. “Itu Naga Permoni kanda, panglima perang yang bertugas di pesisir Pacitan sampai Parangtritis” kata sang ratu selama ditanya.

“Bukankah sosoknya naga yayi” tanya panembahan.
“Benar kanda, itulah wujudnya saat bertugas” Panembahan mengangguk mengerti.
“Jadi mereka semua berwujud naga?”
“Ya, sebagian besar namun ada juga yang berwujud buaya, kura-kura, hiu, ular, kelabang dll”. kembali Panembahan mengangguk ngangguk.
“Luar biasa kekuatan istana selatan, sehingga hampir semua penguasa segan. bahkan ada penguasa dari Sumatra sampai Selat Malaka yang hadir” kata hati kanjeng panembahan.

Suasana sakral itu seolah-olah terusik oleh suara gaduh di luar, orang-orang yang sedang menikmati aneka hiburan di alun-alun berdesak-desakan menuju jalan yang mengarah ke balirung tersebut, sambil tak henti-henti mengucap salam sapa sehingga terdengar riuh.Gamelan yang tadinya mengalun lembut mulai terdengar rancak, nadanya riang dan semarak. Panembahan yang tidak memahami apa yang terjadi hanya menuruti saja ketika sang dewi menuntunnya turun dari singasana dan membimbingnya berdiri, ternyata para sesepuh yang duduk disebalah kanan juga sudah pada berdiri, yang diikuti oleh para tamu undangan sambil saling bertanya “siapa yang hadir”, namun sepertinya hanya beberapa tokoh tua yang menangkap gelombang energi halus sejuk itu.
“Sugeng rawuh Ki Lurah” sapa Naga Gini yang entah sejak kapan sudah meninggalkan tempat duduknya sehingga sudah di depan gedung menyambut tamu yang hadir, kalimatnya halus namun sangat dalam sehingga seluruh yang ada dalam ruang balirung bisa mendengarnya dan mulai faham kenapa semuanya berdiri siap-siap memberi sambutan penghormatan, hampir semua bibir tersenyum, bakan Kanjeng Panembahan Senapati sampai merapikan kainnya.Hanya Kanjeng ratu yang tetap terlihat tenang, namun tidak bisa menutupi binar di matanya.

Suara tawa khas yang di mengerti hampir semua yang hadir terdengar di seluruh ruangan besar itu, lembut namun seolah memaksa semua yang mendengarnya mentup mulut.Sosok bertubuh tambun terlihat memasuki pintu, ternyata lebih tinggi dari kebanyakan orang, pakainnya sederhana, pakai kain dan stagen hitam, rompinya terbuka hingga terlihat susunya yang menggantung seperti wanita, kulitnya putih bersih bahkan sang dewi sepertinya harus ngiri dengan cerahnya kulit sosok tersebut.
“Maaf saya terlambat, biasa, anak-anak saya kalau ada keramaian tidak bisa menahan diri mencicipi jajanan” kata beliau sambil membungkuk hormat pada mempelai berdua dan kepada semua tamu, setelah itu dengan enaknya duduk bersimpuh di antara para panglima, seolah semua hadirin faham perilaku beliau, percuma meminta duduk di tempat kehormatan.

“Ki lurah memang kami nantikan sehingga acara belum di mulai” kata Gusti Ratu yang tahu kalau beliau tidak perlu istirahat, karena tidak pernah capek, juga tidak perlu ditunggu menikmati hidangan karena memang tidak pernah lapar.”Masih ada satu lagi yang belum hadir” kata beliau setelah mengedarkan pandangan kepada hadirin, seolah belum selesai bicara, beliau berdiri dan memandang ke arah pintu masuk, seperti isyarat semuanya ikut berdiri, tak lama berselang masuk sosok lelaki tua, usianya sekitar 70th, jubahnya putih panjang menutupi kakinya, jalannya tidak terlihat hingga seolah bergeser, begitu juga tongkatnya, ruang balirung tiba-tiba senyap, hadirin seolah menahan nafas sambil memandang dengan takjub sosok lelaki tua tersebut, tubuhnya sedang saja, bahkan cenderung agak kurus, kulirnya bersih, kumis dan jenggotnya panjang sampai dada, pakai sorban putih di lilitkan rapi.


Bersambung ke Oleh Oleh Padepokan Klampis ireng Part 11

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »