Dengan penuh kasih, Panembahan membimbing sang Dewi untuk duduk di pangkuannya. Ditatapnya putri rupawan itu lekat-lekat seolah baru pertama melihatnya. Sang Dewi yang diamati berdebar hatinya, tidak terasa air mata menggenang di pelupuk matanya.
“Yayi…,” belum selesai panembahan melanjutkan katanya, Sang Dewi sudah tidak dapat membendung perasaannya, segera turun dari pangkuan dan besujud dihadapan sang Panembahan.
“Hari ini akhirnya datang juga Yayi, entah berapa hari aku meninggalkan keraton, pencarianku sudah berakhir dengan ku temukan engkau disini. Sekarang, mari ke Mataram, menemaniku sampai akhir hayat.”
“Mohon maaf hamba tidak bisa Kangmas,” jawabnya di sela isak yang tertahan. Panembahan tidak sampai hati melanjutkan perkataannya, perlahan diberdirikannya sang Ratu, lalu di bimbingnya keluar puri menuju taman yang sangat indah dan megah.
“Banyak petunjuk Yayi yang selalu aku ingat dalam olah kepemimpinan.” Selama tujuh hari tujuh malam, Panembahan Senapati bercengkrama dengan Kanjeng Ratu Kidul, dan selama itu pula beliau masih juga sempat menerima tuntunan dari Kanjeng Ratu tentang tata pemerintahan yang baik yang harus dilaksanakan oleh Sang Panembahan di Mataram. Di wejanglah Sang Panembahan tentang tata cara menjadi raja, yang dapat memimpin semua makhluk, baik jenis manusia dan makhluk sebangsa lelembut.
“Kangmas hendak bergegas ke mataram, apakah karena ada putri yang menantikan?”
Sambil tersenyum dan mempererat pelukan Panembahan menjawab, “Yayi yayi, apa yang tidak kau ketahui, lobang semut seantero Mataram pun bisa kau ketahui jumlahnya, apalagi seorang putri,” mau tidak mau Kanjeng Ratu tersenyum juga sambil mencubit pinggang sang kekasih hati. Memang, apa yang tidak bisa diketahuinya, bahkan pasukan siluman jin prayangan sudah menyusup kesemua sudut Mataram untuk menjaga selama Panembahan berada di selatan. Namun dengan demikian, tidak mungkin lagi bisa mempertahankan suaminya untuk tinggal lebih lama.
“Kepergianku tak ada yang mengetahui Yayi, setelah sekian lama, pastilah seluruh rakyat Mataram cemas karena tidak ada kabar berita dariku,” sang Putri Dewi mendengarkannya sambil mengeraskan hati. Tidak berguna juga andai dia menangis.
“Panembahan Senapati, wong agung dari Mataram suami hamba, tidaklah mungkin hamba memisahkan Kangmas dari rakyat Mataram, tidak mungkin juga keraton Kidul berpisah dengan Panembahan.” Panembahan agak terkejut dengan apa yang barusan di ucapkan permaisurinya, dilepaskannya sang dewi dari pelukan, dipegangnya kedua pundak sang Ratna.
“Gusti Panembahan tetap akan menjadi Raja Mataram dan Raja di Kerajaan Pantai Selatan, untuk saat ini dan selamanya,” kata-kata sang dewi begitu tegas, tidak dapat di tolak tidak bisa disangkal.
“Baiklah Yayi, aku menyanggupi apa yang kau inginkan,” mendengar itu sekali lagi Kanjeng Ratu bersujud kepada Panembahan sebagai tanda bakti istri kepada suami.
“Berdirilah Yayi,” lalu mereka kembali berjalan ke puri, irama gamelan yang tadinya seolah lenyap kembali terdengar mengalun, di dalam puri ternyata telah terhidang berbagai makanan dan minuman yang masih hangat. “Kalian keluarlah, biarlah aku yang melayani beliau,” maka para dayang pun bergegas keluar dari dalam puri.
“Betapa bahagianya aku, memiliki istri yang sangat sempurna, cantik bak bidadari, baik budi pekertinya, halus tutur bahasanya, luas wawasannya, punya kekayaan tak terkira, sakti madraguna, kalau saja aku lelaki biasa…,” belum sempat panembahan melanjutkan katanya sudah terputus oleh suapan makanan penutup yang disodorkan sang permaisuri, seolah tak ingin mendengar kelanjutan kalimat sang Panembahan.
“Sesempurna apapun, akan tetap di tinggal sendiri di dasar samudera yang dingin ini,” kata sang Ratna sambil terus menyuapi sang Panembahan yang tidak mampu menjawab, melihat junjungannya sedikit berduka, sang dewi tidak tega untuk terus menggoda.
“Suamiku, Rajaku, Junjunganku, kekasih hatiku, ini memang sudah menjadi suratan takdir, beberapa hari di temani baginda, cukup membuat hidup hamba bahagia untuk selamanya. Baginda memang harus kembali ke Mataram yang baru berkembang dan memimpinnya untuk menjadi kerajaan yang besar,” suara sang dewi tetap halus namun setiap detailnya terdengar sangat jelas seolah tertancap di hati.
“Yayi benar-benar tidak bisa mendampingiku dan tinggal di istana Mataram yang sederhana?”
“Sudah menjadi tanggung jawab hamba untuk menjaga kelestarian istana selatan Kanda. Bukankah tempat tinggal hamba hanya selangkah dari bumi Mataram? Apa yang terjadi di sana tidak akan terlepas dari pengamatan hamba Kanjeng.”
“Ya, usiamu akan lama sekali, tidak seperti aku yang sebentar lagi tua dan mati.”
“Bagi rakyat Mataram mungkin demikian, namun bagi rakyat selatan Panembahan tidak pernah mati seperti halnya kita yang tidak akan terpisahkan, seperti halnya Mataram yang akan tetap jaya, selama kraton selatan masih ada,” Panembahan tidak bisa menahan rasa harunya, di genggamnya erat-erat jemari sang dewi.
“Bagaimana aku berterima-kasih?,” kata panembahan tercekat.
“Baginda segalanya bagi hamba, juga bagi seluruh rakyat istana selatan. Begitu juga Mataram bagi kami, sepeninggal baginda kelak dari tlatah Mataram, kami akan tetap setia mendampingi dan mengawal tahta Mataram, begitu juga yang akan kami lakukan terhadap penerus baginda.” Janji setia Ratu Pantai Selatan itu ternyata bergaung ke seantero samudera, membuat gulungan ombak besar yang dahsyat seolah akan menenggelamkan siapapun yang akan mengusik Mataram.
Tanpa di sadari waktu berlalu begitu cepat. “Marilah junjungan hamba, Raja hamba, kekasih hati hamba, suami hamba sampai akhir dunia, mari dinda antar Kanda ke tepi,” suara halus sang dewi seolah mengembalikan sukma Gusti Panembahan Senapati, yang seolah berat sekali beranjak dari peraduan di puri istana selatan. Setelah sejenak mengheningkan cipta disusul dengan tarikan nafas yang panjang, dengan segera Panembahan berdiri dengan gagah. Busananya yang berhiasan emas intan permata berkilat-kilat memancarkan kharisma dan pesona yang membuat sang dewi lututnya serasa lemas. Namun dengan menguatkan diri, beliaupun bergegas berdiri tegak.
Setelah merapikan pakaian sang raja, maka sesaat kemudian beberapa danyang yang cantik menyeruak masuk dengan cepat. Namun tanpa bersuara sedikitpun, merapikan busana sang Ratu, menarik jaritnya lurus ke belakang dan mengembangkan ke empat selendang kuning hijau. Maka mereka laksana sepasang dewa-dewi yang sangat sempurna. Bunyi gamelan mulai merambat cepat, harum kembang semakin semerbak, asap dupa semakin tebal ketika mereka mulai melangkah keluar dari puri. Para danyang dan pengawal istana yang membungkuk dalam-dalam saat mereka lewat, tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk melirik pasangan tersebut walau selintas, lalu mendesah dan menggeleng-nggelengkan kepala. “Pasangan luar biasa serasinya, sangat menawan dan menggetarkan hati siapapun yang melihatnya. Namun sayang, takdir tidak berpihak pada beliau berdua,” kata hati mereka hampir sama, itulah yang membuat mereka membungkuk semakin dalam.
Tiba-tiba Panembahan menghentikan langkahnya, di ikuti oleh sang dewi dan para gendang, bahkan juru tabuh sesaat menghentikan langgamnya. Namun tidak lama gending halus kembali terdengar merambat ke seantero istana. Panembahan masih berdiri diam. “Duhai istana yang indah,” gumam lirih Panembahan yang hanya didengar oleh Kanjeng Ratu ygan berdiri disampingnya, dia merasakan genggaman Panembahan sedikit keras.
“Adakah yang merisaukan hati gusti Panembahan junjungan hamba?,” tanya sang dewi dengan nada sama pelannya.
“Aku melihat perbedaan antara di sebelah istana kiri dengan sebelah kanan,” kata beliau sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, memang iring-iringan sedang melalui koridor memanjang sehingga pemandangan samping istana kelihatan.
“Apakah baginda ingin melihat kesana?,” dan Panembahan pun mengangguk.
Maka sang dewi membimbing maju beberapa langkah, disitu ada simpang empat, lurus ke utara atau ke pendapa, yang kiri ada gerbang dari emas merah dan sebelah kanan ada gerbang emas kuning. Masing-masing dijaga oleh pengawal wanita dan di depannya bersimpuh hormat wanita-wanita cantik dengan kemben hijau bersulam benang emas dan menggenakan selendang kuning merah. Ketika beliau berdua mengarahkan pandangan kesitu, semuanya menunduk makin dalam seolah ingin menenggelamkan diri dalam lantai.
Sang Ratna melihat kerutan kecil sang Panembahan. “Mereka itulah para nyai yang ada di istana barat Kanda, ada blorong, roro, pandan suri, swasti, ragas wati, mantrihasti dan masih banyak lagi,” ucap sang Ratu mulai memperkenalkan mereka. Panembahan Sanopati tidak melanjutkan langkahnya ke kiri, lalu berbalik meliahat ke kanan, kali ini panembahan yang menggandeng sang putri untuk mengikuti. Disinipun hampir sama, yang membedakan selain warna kuning pada pintu gerbangnya, juga pakaian putri-putri yang bersimpuh di kiri kanan jalan selendangnya hijau kuning, saat raja dan ratu mendekat, seperti yang lain, mereka seolah ingin menunjukkan hormatnya dengan merunduk dalam-dalam sehingga seolah rata dengan lantai.
“Panembahan ingin melihat istana wetan?,” tanya lembut sang ratna melihat ekspresi cerah kekasihnya itu. Panembahan hanya menggeleng sambil tersenyum mengerti. “Mari kita ke balairung baginda, beberapa tamu sudah menunggu,” kata sang dewi yang di ikuti Panembahan tanpa bertanya apa-apa lagi. Sebuah ruangan besar berbentuk lingkaran, atapnya tinggi sekali seolah menyentuh langit, dindingnya dari pualam putih mutiara, ornamennya rumit berwarna emas. Mereka berdua langsung menuju singgasana yang letaknya agak tinggi dan setelah duduk, barulah yang hadir menegakkan badan dan duduk pula dengan tegak. Beralaskan bantal kain bludru merah berenda kuning emas. Agak terkejut juga sang Panembahan melihat siapa saja yang sudah hadir.
Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 10