Connect with us

Hi, what are you looking for?

Gaib & Spiritual

Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 8

Irama kidung mengalun mendayu-dayu terdengar merasuk melalui lubang-lubang di dinding puri. Kemesraan keduanya tak terhitung hari. Pintu puri seolah selalu tertutup rapat, namun makanan selalu terhidang baru dan hangat. Pun juga kembang dan dupa selalu mengepulkan aroma yang menyegarkan. Panembahan tertidur begitu nyenyak, senyum bahagia tersungging di bibirnya seolah terukir sehingga tetap merekah meskipun terlelap, tanpa menggerakkan tirai pelaminan, tanpa menimbulkan suara sedikitpun, bahkan Panembahan yang memeluk erat tidak sadar kalau permaisurinya telah lepas dari dekapannya.

Ada suara mendengung seperti kumbang menyusup ke seantero istana, yang membuat seluruh istana siaga, semua penjaga terbangun dan bergerak sangat cepat memperkuat posnya masing-masing. Tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Sesampai diluar puri, ternyata Kanjeng Ratu telah menggunakan pakaian kebesarannya, kain bludru hitam dengan hiasan benang emas, menggunakan mahkota bersusun tiga dengan selendang kuning melingkar di perutnya dan selendang hijau panjang tergerai di belakangnya. Cantik jelita, sangat berwibawa dan sedikit menakutkan.

 

Khawatir mengusik ketenangan tidur suaminya, sang Ratu melangkah cepat ke pendapa diikuti para pengawal yang tadi sdh bersiap siaga menanti perintah di depan pintu puri.
“Dimana Nyi Roro Kidul?”
“Beliau di gerbang utama Kanjeng Ratu.”
“Dimana Ki Sapu Jagad?”
“Beliau dipermukaan lautan di atas istana.”
“Dimana Panglima yang lain.”
“Mereka ada di posnya masing-masing lengkap dengan seluruh bala tentaranya Kanjeng Ratu.”
“Dimana Nyai Roro Kidul?”
“Beliau membentengi bagian istana belakang dan menutup rapat seluruh jalan rahasia dengan memberi mantra di setiap pintunya.”
“Apa yang didapat sampai saat ini?’
“Penyusup belum terlacak Gusti.”
Mendengar laporan itu, mata sang Dewi berkilat-kilat aneh. Badannya seolah bertambah tinggi, “Bawa kemari Nini Sampar,” dalam beberapa detik sosok yang dipanggil Nini Sampar sudah hadir. Dengan sebuah cupu ditangannya, sosoknya agak gemuk dan sedikit bongkok, menggenakan jubah hitam tanpa hiasan sedikitpun.
“Apa yang kau lihat Nini?”
“Cupu Manik tidak bisa menembus Kanjeng Ratu. Begitu juga Tirta wreditama tenang tidak menampakkan gambaran apapun, sedangkan kaca benggala hanya menampakkan kabut tipis.”
“Hmmm, manusia mana yang kesaktiannya seperti ini?,” suaranya sedikit menggeram.
“Aku juga tidak melihatnya dinda,” terdengar suara berat seorang lelaki namun tidak nampak wujudnya.
“Kangmas Jaka Manggala juga terjaga rupanya.”
“Aku sudah bergerak sebelum mustika Kerang Suralaya ditiupkan.”
“Terimakasih kakang.”
“Kembalilah istirahat, sepertinya penyusup tadi hanya melintas,” kata-kata kakaknya itu seolah cemeti yang melecut telinganya. Seketika itu juga Kanjeng Ratu melesat dengan sangat cepat seolah tiba-tiba menghilang dari pandangan.

 

 

Ya, beliau tiba-tiba baru teringat akan Panembahan, kalau ada penyusup pasti kesitu arahnya. Agak tergesa Kanjeng Ratu mendorong pintu kamar, sehingga menimbulkan suara berderit, Kanjeng Ratu khawatir suara deritan pintu membangunkan Panembahan. Ternyata Panembahan sudah duduk di kursi, menghadap lurus ke pintu. Kanjeng Ratu terkejut melihat Panembahan sudah ganti busana lengkap, sedangkan Panembahan tidak terkejut melihat istrinya berpakaian kebesaran, seolah telah menebaknya. Dahinya agak berkerut melihat sosok sang Dewi yang seolah-olah lebih besar darinya. Suasana sesaat menjadi sangat sunyi, Sang Dewi begitu tegang mengamati sang Panembahan, “Ternyata benar, penyusup itu telah datang kemari dan menyadarkan Panembahan dari buaian,” begitu kata hati sang Dewi.

 

 

 

Sesungguhnya apa yang terjadi?
Sebenarnya Sunan Adilangu tidak pernah melepaskan pengamatannya pada Panembahan Senopati. Saat meninggalkan sendirian dipantai untuk menantikan penjemputan, beliau tidak betul-betul meninggalkan tempat itu. Terbantu oleh gelapnya malam, beliau meninggalkan Panembahan, ketika sudah agak jauh, dengan merapal amalan Wal Syu’ot maka terlepaslah beliau dari pandangan mata Panembahan sehingga tidak di ketahui saat mulai mendekati lagi. Namun tetap mengambil jarak ketika melihat yang menjemput adalah Nyi Roro Kidul. Meski belum pernah bentrok langsung, namun sudah dipesan oleh ayahandanya Kanjeng Sunan Kalijaga, agar mengindari benturan dengan selatan., termasuk Nyi Roro Kidul. Kesempatan mendekat itu ada ketika Panembahan masuk ke kereta, beliau mau menerobos, namun batu-batu biru yang terlihat indah seperti ronce disekitar pintu kereta ternyata memaksa Sunan mengurungkan niatnya. Kilauannya memantulan cahaya yang terasa menggores kulit, kalau dipaksakan masuk, bisa ketahuan.

 

Begitulah, beliau tetap menunggu di pantai dengan tidak melepas rapalannya sehingga para penjaga pantai selatan tidak mendeteksi keberadaan beliau. Berbagai upaya melihat tembus ke dalam istana tidak berhasil, bahkan di hari ke tiga, seolah istana lenyap dari samudra. Hal itu membuat beliau semakin gelisah dan keinginan untuk mengetahui keadaan Panembahan semakin kuat. Ternyata pagar ghaib istana selatan berlapis-lapis dan semakin ke dalam semakin kuat.

Menginjak hari ke tujuh, terlihat sosok melesat masuk ke dalam samudera, seorang lelaki dengan pakaian indah bertelanjang dada. Sejenak kemudian seolah melesat ke atas mengelilingi istana, lalu mulai terlihat pejaga-penjaga istana, meskipun terlihat lebih rapat, namun sudah bisa di tembus dengan mata bathin beliau. Dengan perhitungan yang sangat matang menjelang terbenamnya matahari, beliau seolah lenyap dari pandangan. Yang terlihat adalah cahaya merah kekuningan menyatu dengan cahaya senja menerobos ke dalam lautan. Ternyata beliau telah merapal ajian tejo kinurung untuk menemui Panembahan. Baru menerobos gerbang pertama, cahaya putih menukik tajam dari angkasa, seorang lelaki muda dengan pakaian yang indah. Ya, itu adalah Jaka Manggala kakaknya kanjeng Ratu yang hari itu merasa gelisah sehingga ikut mengamati istana. Melihat itu Sunan Adilangu segera menyatu dengan cahaya yang memantul-mantul di dalam air sehingga Jaka Manggala kehilangan jejak. Tak lama kemudian terdengar bunyi mendengung yang membuat panilk istana.

Tidak sulit bagi Sunan menemukan Puri sang Dewi, karena memang terlihat paling indah dan paling megah. Saat sang Dewi bergegas keluar, saat itulah Sunan Adilangu menyusup masuk sebagai pantulan cahaya dari langit. Kalau saja Kanjeng Ratu tidak tergesa-gesa, ada kemungkinan beliau ketahuan.

Begitulah Sunan sampai ke peraduan sang Panembahan yang tertidur lelap dengan senyum mengembang di bibirnya. Agar tidak menimbulkan suara berisik, Kanjeng Sunan bermaksud membangunkan dengan menepuk kaki Panembahan. Namun begitu menyentuh kulit Panembahan, seperti tersengat beliau cepat sekali melompat surut. “Luar biasa kekuatan ranjang ini,” kata beliau dalam hati. Lalu dilepaslah sorban beliau dengan sentakan kuat dengan berucap “Yaa Latif” maka seolah tubuh Panembahan terlempar ke udara dan di tangkap oleh sorban yang seolah melilit tubuhnya yang hanya tertutup kain kuning tipis. Panembahan masih tidur nyenyak ketika perlahan diturunkan ke lantai.

Kejadian dalam puri Sang Dewi berlangsung begitu cepat, karena Sunan Adilangu menyadari betul bahwa jika kedatangannya sampai di ketahui, maka akan terjadi pertempuran hebat dengan seisi kerajaan ghaib. Bertempur di dalam air sangat tidak menguntungkan. Setelah dibaringkan di lantai yang dingin, perlahan pengaruh sirep dampar kencana mulai memudar. Begitu Panembahan mulai tersadar, terkejut mendapati dirinya terbaring di lantai. Masih terasa desiran angin dingin yang membangunkannya. Panembahan melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa namun dibiarkan udara dingin yang merayap ke seluruh pembuluh darahnya seolah memberi kesegaran dan begitu terlepas dari ubun-ubun maka semua pengaruh ghaib seolah sirna. Panembahan yang sakti itu tahu persis bahwa ada yang telah berusaha menyadarkannya.

 

Kemana Kanjeng Sunan?
Begitu melihat Panembahan mulai tersadar oleh ajian Nur Alif yang sengaja dikerahkannya, maka secepat kilat Kanjeng Sunan Adilangu seolah lenyap. Meninggalkan cahaya semburat merah kekuningan yang selanjutnya lenyap bersama tenggelamnya sinar matahari. Mendekati permukaan samudera, beliau terpaksa melepas lagi kain surbannya, dengan sekali kebut terlemparlah Naga Raksa yang berpatroli di permukaan. Tubuhnya seolah di hempaskan oleh angin dingin yang kuat, namun tidak tampak sosok yang menerbangkannya. Begitu menyentuh air laut seolah kembali kesadarannya dan berusaha secepatnya kembali ke tempat semula, kosong. Dilanjutkan pencariannya sampai ke tepi pantai, tidak juga ditemukan siapa-siapa. Sunan Adilangu segera merapal ajiannya kembali sesampai di sebuah ceruk karang, sehingga patroli prajurit pantai selatan tidak bisa menemukannya.

 

Sementara itu, begitu tersadar, Panembahan segera mengenakan kembali jubahnya, lalu duduk dikursi menghadap ke arah pintu menunggu kedatangan sang Putri. maka tidak terkejut sang Panembahan melihat Kanjeng Ratu yang datang dengan tergesa-gesa. Sesaat keduanya saling menatap, udara perlahan-lahan mulai sejuk lagi seiring dengan menyusutnya tubuh sang Dewi sampai ke ukuran biasa. “Maaf, sudah mengusik tidur Panembahan,” suara Sang Dewi begitu halus, seolah tidak terjadi apa-apa. “Maafkan hamba tadi meninggalkan sejenak Paduka.” Panembahan Senopati tersenyum, wajahnya cerah secerah matahari pagi, perlahan bangkit dari kursi dan mendekati sang Ratna.

 

Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 9

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Gaib & Spiritual

Di dalam ajaran Islam di jawa terdapat empat jenis nafas yaitu nafas, anfas, anfas dan nufus. Dalam bahasa Jawa diucapkan “napas, tanapas, anpas, nupus.”...

Religi

Pada suatu kesempatan lalu , saya di perkenankan untuk singgah di Trenggalek . Memang di bulan februari kemarin, saya dapat kesempatan untuk berlibur 3...

Sastra

PUPUH I ASMARANDANA //Kasmaran panganggitgending / Basa Sunda lumayanan / Kasar sakalangkung awon / Kirang tindak tatakrama /Ngarang kirang panalar / Ngan bawining tina...

Wisata

Pantai Pucang sawit secara administratif berada di Desa Pucanglaban kec. Pucanglaban Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Desa Pucanglaban berada di pesisir Samudera Hindia yang dipenuhi oleh...

Translate »