Irama kidung mengalun mendayu-dayu terdengar merasuk melalui lubang-lubang di dinding puri. Kemesraan keduanya tak terhitung hari. Pintu puri seolah selalu tertutup rapat, namun makanan selalu terhidang baru dan hangat. Pun juga kembang dan dupa selalu mengepulkan aroma yang menyegarkan. Panembahan tertidur begitu nyenyak, senyum bahagia tersungging di bibirnya seolah terukir sehingga tetap merekah meskipun terlelap, tanpa menggerakkan tirai pelaminan, tanpa menimbulkan suara sedikitpun, bahkan Panembahan yang memeluk erat tidak sadar kalau permaisurinya telah lepas dari dekapannya.
Ada suara mendengung seperti kumbang menyusup ke seantero istana, yang membuat seluruh istana siaga, semua penjaga terbangun dan bergerak sangat cepat memperkuat posnya masing-masing. Tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Sesampai diluar puri, ternyata Kanjeng Ratu telah menggunakan pakaian kebesarannya, kain bludru hitam dengan hiasan benang emas, menggunakan mahkota bersusun tiga dengan selendang kuning melingkar di perutnya dan selendang hijau panjang tergerai di belakangnya. Cantik jelita, sangat berwibawa dan sedikit menakutkan.
Begitulah, beliau tetap menunggu di pantai dengan tidak melepas rapalannya sehingga para penjaga pantai selatan tidak mendeteksi keberadaan beliau. Berbagai upaya melihat tembus ke dalam istana tidak berhasil, bahkan di hari ke tiga, seolah istana lenyap dari samudra. Hal itu membuat beliau semakin gelisah dan keinginan untuk mengetahui keadaan Panembahan semakin kuat. Ternyata pagar ghaib istana selatan berlapis-lapis dan semakin ke dalam semakin kuat.
Menginjak hari ke tujuh, terlihat sosok melesat masuk ke dalam samudera, seorang lelaki dengan pakaian indah bertelanjang dada. Sejenak kemudian seolah melesat ke atas mengelilingi istana, lalu mulai terlihat pejaga-penjaga istana, meskipun terlihat lebih rapat, namun sudah bisa di tembus dengan mata bathin beliau. Dengan perhitungan yang sangat matang menjelang terbenamnya matahari, beliau seolah lenyap dari pandangan. Yang terlihat adalah cahaya merah kekuningan menyatu dengan cahaya senja menerobos ke dalam lautan. Ternyata beliau telah merapal ajian tejo kinurung untuk menemui Panembahan. Baru menerobos gerbang pertama, cahaya putih menukik tajam dari angkasa, seorang lelaki muda dengan pakaian yang indah. Ya, itu adalah Jaka Manggala kakaknya kanjeng Ratu yang hari itu merasa gelisah sehingga ikut mengamati istana. Melihat itu Sunan Adilangu segera menyatu dengan cahaya yang memantul-mantul di dalam air sehingga Jaka Manggala kehilangan jejak. Tak lama kemudian terdengar bunyi mendengung yang membuat panilk istana.
Tidak sulit bagi Sunan menemukan Puri sang Dewi, karena memang terlihat paling indah dan paling megah. Saat sang Dewi bergegas keluar, saat itulah Sunan Adilangu menyusup masuk sebagai pantulan cahaya dari langit. Kalau saja Kanjeng Ratu tidak tergesa-gesa, ada kemungkinan beliau ketahuan.
Begitulah Sunan sampai ke peraduan sang Panembahan yang tertidur lelap dengan senyum mengembang di bibirnya. Agar tidak menimbulkan suara berisik, Kanjeng Sunan bermaksud membangunkan dengan menepuk kaki Panembahan. Namun begitu menyentuh kulit Panembahan, seperti tersengat beliau cepat sekali melompat surut. “Luar biasa kekuatan ranjang ini,” kata beliau dalam hati. Lalu dilepaslah sorban beliau dengan sentakan kuat dengan berucap “Yaa Latif” maka seolah tubuh Panembahan terlempar ke udara dan di tangkap oleh sorban yang seolah melilit tubuhnya yang hanya tertutup kain kuning tipis. Panembahan masih tidur nyenyak ketika perlahan diturunkan ke lantai.
Kejadian dalam puri Sang Dewi berlangsung begitu cepat, karena Sunan Adilangu menyadari betul bahwa jika kedatangannya sampai di ketahui, maka akan terjadi pertempuran hebat dengan seisi kerajaan ghaib. Bertempur di dalam air sangat tidak menguntungkan. Setelah dibaringkan di lantai yang dingin, perlahan pengaruh sirep dampar kencana mulai memudar. Begitu Panembahan mulai tersadar, terkejut mendapati dirinya terbaring di lantai. Masih terasa desiran angin dingin yang membangunkannya. Panembahan melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa namun dibiarkan udara dingin yang merayap ke seluruh pembuluh darahnya seolah memberi kesegaran dan begitu terlepas dari ubun-ubun maka semua pengaruh ghaib seolah sirna. Panembahan yang sakti itu tahu persis bahwa ada yang telah berusaha menyadarkannya.
Sementara itu, begitu tersadar, Panembahan segera mengenakan kembali jubahnya, lalu duduk dikursi menghadap ke arah pintu menunggu kedatangan sang Putri. maka tidak terkejut sang Panembahan melihat Kanjeng Ratu yang datang dengan tergesa-gesa. Sesaat keduanya saling menatap, udara perlahan-lahan mulai sejuk lagi seiring dengan menyusutnya tubuh sang Dewi sampai ke ukuran biasa. “Maaf, sudah mengusik tidur Panembahan,” suara Sang Dewi begitu halus, seolah tidak terjadi apa-apa. “Maafkan hamba tadi meninggalkan sejenak Paduka.” Panembahan Senopati tersenyum, wajahnya cerah secerah matahari pagi, perlahan bangkit dari kursi dan mendekati sang Ratna.
Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 9
