Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 11

“Ketiga “samudera atau Air” Pikirannya harus dijaga agar tetap jernih dan menyadari bahwa tugas yang di embannya adalah amanah dari Hyang Widi, sebagai wakil Tuhan.Maka dengan sujud sempurna dia akan tetap “Eling”.Air akan mengurai permasalahan yang pelik, membereskan permasalahan dan sengketa, melenyapkan gangguan menjernihkan hati dan pikiran di masyarakat dengan siraman rohani, tenang dan tidak mudah dihasut.Sebagai sumber kebajikan yang bisa mencerahkan dan membuang jauh-jauh keburukan, ibarat air dari sumber yang bening akan berkelok menyusuri tempat-tempat kotor untuk dibuang jauh-jauh ke samudera dan tetap akan kembali sebagai sumber yang jernih.”
Saya ingat perempatan ini, kalau ke barat akan sampai ke istana Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, Nyi Pandan Suri koordinator tuyul dan segala macam hewan pesugihan. Sedang kalau ke timur sebaliknya, termasuk gandok Kanjeng Ratu ada disebelah timur. Untuk mengikuti agar tidak sampai menimbulkan gelombang udara, saya menggunakan ilmu Maling Cluring (ilmu ini sekilas saya turunkan saat pelatiahan massal II di TMII, yakni cara menembus benteng tanpa terdeteksi bisa melalui udara atau cahaya). Ilmu ini memungkinkan bisa bergerak leluasa, bila di air akan menyatu dengan air, melalui udara atau angin akan menyatu dengan udara bahkan menyatu dengan warna yang ada, level lebih tinggi apabila bisa menyatu dengan api dan tertinggi bisa menyatu dengan tanah. Mengikuti beliau berdua kali ini memang harus jarak dekat karena sudah terlihat gerbang besar berwana kuning emas. Aroma kembang melati menyebar dari tubuh sang putri sedang dari tubuh Panembahan memancarkan aroma cendana yang lembut.
Mendekati gerbang, penjaga tetap tegak dengan cundrik berkilat terhunus di tangan, entah rapalan apa yang gusti putri baca, serentak para penjaga bersimpuh hormat sambi salah satunya mendekati pintu gerbang membisikkan sesuatu di patung naga. Seperti menggeliat malas setengah putaran maka gerbang itupun terbuka. “Mohon maaf Kanjeng Panembahan,” kata saya dalam hati sambil menyusup ke rangkaian melati penghias pusaka sang Panembahan.
Tepat waktunya, karena begitu melangkah ke gerbang, terasa sentuhan panas dingin menyentuh kembang melati “Untung saja tidak terkena pagar.” Berselang sekitar 5 langkah terlihat pintu gerbang berwarna biru safir. Sewarna busana Kanjeng Ratu. Kembali beliau menggumamkan mantra dan gerbang itu terbuka. Kali ini saya harus menyelinap berlindung diantara warangka dan pendok agar lebih aman. Tidak terasa apa-apa hanya seolah badan membeku, tidak tahu apa yang terjadi, terasa beliau melanjutkan perjalanan terasa suasana hening, karena penasaran saya coba mengintip, hanya terlihat gerbang bercahaya kuning.
Mendekati gerbang itu Kanjeng Ratu membimbing sang Panembahan untuk berlutut, sambil komat kamit agak panjang barulah gerbang ketiga ini terbuka, sama dengan gerbang kedua, di sinipun tidak ada pengawal, beliau berdua berdiri dan mulai melangkah masuk, tidak terasa apapun, biasa saja, bahkan terkesan nyaman, maka karena tidak ada bahaya saya beranikan keluar, tetap sambil merapal ajian Maling Cluring dan selalu berlindung di bayangan sang Panembahan.
“Inikah harta Kanjeng Nabi Sulaiman yang di jaga oleh Kanjeng Ratu?,” tanya saya dalam hati melihat padang luas dengan kilauan emas permata bewana warni. Seolah tidak menghiraukan emas raja brana, Panembahan yang sedari tadi digandeng mengikuti saja kemana di arahkan. Langkah kaki mereka terdengar bergemerincing jelas ditempat yang sunyi sepi itu, entah apa yang di injak, sebagai sukma, saya tidak merasakan sentuhan apapun.
Sebuah tiang besar kira-kira diameter 2 meter, beliau berhenti dan melepaskan pegangan pada Senapati. Kedua tangan Kanjeng Ratu di lekatkan di dinding tiang itu. Tidak lama berselang, seolah-olah ornamennya hidup dan terbukalah tiang tersebut, udara dingin menyeruak dari dalam. Berjajar rapi aneka benda pusaka, mustika dan entah apalagi. Tidak lama, di kedua tangan beliau sudah tergenggam 2 benda berkilau. Kembali beliau komat-kamit, maka kilauan pun redup dan hilang. Sebutir telor berwarna putih salju di tangan kanan dan sebuah cupu berbentuk seperti gada dari batu hijau ditangan kiri. “Telor Lesung Jagad dan minyak Jayengkaton, ternyata tersimpan disini,” kata hati saya. Tidak ada yang menarik lagi, cepat saya sembunyi di balik pendok. Sesampai diluar, kali ini saya merasa tidak enak kalau mengikuti mereka ke dalam pondok dan memilih kembali ke balairung. Ternyata ular-ular Ki Lurah telah selesai, beliau melihat sekilas ketika saya masuk.