Pintu gerbangnya terbuat dari kayu tebal berwarna merah mengkilat dengan ornamen kuning, paku bautnya terlihat nongol bulat-bulat berwarna kuning emas. Di barisan penyambut paling depan ada seorang wanita muda, duduk berlutut seperti yang lainnya. didepannya ada beberapa bokor emas dengan aneka buah dan penganan yang berhiaskan janur kuning.
Dewi berjalan perlahan mendekatinya, “Engkau siapa?”
“Hamba Roro Kanjeng Ratu.”
Yang memperkenal diri sebagai Roro adalah sosok wanita muda yang cantik, badannya ramping, usianya sekitar 25 tahun, wajahnya oval secara keseluruhan mirip artis india, pakaiannya serba hijau dengan selendang kuning, mengenakan sebuah mahkota kecil berkilau menandakan terbuat dari emas putih bertahtakan berlian. Dewi mengamati dengan seksama.
“Engkau yang memimpin istana ini?”
“Hanya mengatur agar semuanya terkendali sampai Kanjeng Ratu naik tahta, penantian kami ribuan tahun terwujud hari ini, terimalah sembah bakti hamba,” Dewi Sri Pohaci mengangguk. Ada keharuan dihatinya, ternyata kejadian ini telah lama diramalkan, kemudian pandangannya beralih ke wanita di samping kiri Roro.
“Hamba Nyai Roro kanjeng Ratu,” yang bicara adalah seorang wanita paruh baya yang sangat cantik, usianya skitar 40 tahun. Wajahnya bulat dengan mata lebar yang berkilat aneh, perawakannya sedang agak tinggi dan kelihatan berisi dan kokoh. Dewi Sri Pohaci yang selanjutnya dipanggil Kanjeng Ratu sempat melirik ke kuku Nyai Roro, warnanya merah darah dengan pangkal agak kehitaman.
“Siapa dirimu?”
“Hamba yang menjaga istana belakang Kanjeng Ratu,” jawabnya pendek sambil tetap menunduk.
“Engkau siapa?,” tanya Kanjeng Ratu kepada sosok gadis muda yg duduk disebelah kanan Nyai Roro.
“Hamba Pandan Suri Kanjeng Ratu,” suaranya riang dan terdengar ceria, kulitnya kuning langsat, tubuhnya semampai wajahnya kekanak-kanakan, usianya sekitar 15 tahun.
“Hamba yang istana di sebelah barat Kanjeng Ratu,” sambungnya sambil melirik ke Roro. Kanjeng Ratu masih ingat karang terjal yang ada di sebelah barat istana, itukah tempatnya.
Ki Ageng Watu Kumambang menghentikan kisahnya.
“Kau dengar suara tadi kisanak?”
“Ya Ki,” jawab saya singkat. Mulanya saya melihat ada cahaya biru dari tempat dimana kakek tua yang memegang tongkat tadi berada, hanya sekejap, diikuti dengan udara dingin membawa pesan yang sempat juga saya dengar.
“Yang wingit, biarlah tetap wingit, sampai pada masanya,” suaranya berat dengan eksen yang saya hafal betul, rupanya wisik tadi yang menghentikan cerita beliau.
“Bukankah kisanak juga tahu lanjutan kisahku tadi?,” tanya beliau tetep menggunakan aji pameling. Saya mengangguk.
“Bagaimana kalau meloncat ke-3 bulan berikutnya saja Ki?,” usul saya, kali ini beliau yang mengangguk.
“Baiklah.”
Singkat cerita, dewi Sri Pohaci sejak saat itu lebih sering disebut sebagai Kanjeng Ratu Kidul. Bahkan nama asli beliau sudah banyak dilupakan orang, bahkan muncul banyak legenda dari mulut ke mulut tentang asal usul beliau yang sengaja maupun tidak makin menambah aura wingitnya pantai selatan. Menjelang 3 bulan setelah peristiwa malam itu, istana menjadi begitu meriah bendera dan umbul-umbul dikibarkan hampir disetiap penjuru kerajaan, alun-alun yang ada di sebelah timur keraton meriah dengan aneka hiburan dan banyaknya perdagangan, kaputren terutama tempat peraduan kanjeng ratu semerbak wangi bunga setaman. Tidak ada yang menanyakan, dalam rangka apa istana dihias indah, bahkan ratupun tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada malam nanti.
Senja semakin suram, perlahan kegelapan menyelimuti bumi, jauh dari istana yang meriah, ditepi pantai yang gelap dan sunyi ada dua sosok yang terlihat duduk berdua.
“Saya telah datang sesuai permintaan Kanjeng Sunan,” suaranya terdengar mantab berwibawa meskipun tersirat kesedihan yang tidak bisa disembunyikan.
“Tunggulah sejenak Panembahan,” suaranya halus namun terasa jelas di sela-sela deru ombak pantai selatan yang malam itu begitu menggelora, mungkin dikarenakan tepat bulan purnama. Ya, mereka berdua Adalah Panembahan senapati dan Sunan Adilangu yang sudah membikin perjanjian untuk ketemu di tempat itu.
“Apakah ada tugas dari para wali yang bisa saya kerjakan kanjeng?”
“Malam ini, Panembahan akan mengikuti takdir yang telah di gariskan. tunggu saja disini sampai rembulan tepat di ubun-ubun, saya akan melanjutkan perjalanan.”
“Saya akan berusaha sebaik-baiknya, mohon do’a restu panjenengan supaya saya mampu menghadapi takdir yang harus saya jalani, seberat apapun perintah para wali akan saya laksanakan,” Sunan hanya tersenyum, setelah saling berucap salam, beliau berjalan hilang di kegelapan malam.
Kembali ke istana, Kanjeng Ratu gelisah hatinya, berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya yang mewah, malam sudah menjelang dan hampir mendekati penghujung. Namun Kyai yang mengisyaratkan akan terjadinya sesuatu yang ditunggu-tunggu, belum juga memberi warta. Dalam gelisahnya, beliau bersuci lalu duduk hening, lampu diredupkan dan para danyang disuruh menjauh, belum sempat mata memejam, terdengar suara lirih diantara debur ombak.
“Kirimkanlah kereta ke pantai, ada tamu yang akan datang,” suara itu begitu sayupnya sehingga beliau agak ragu akan kebenarannya. Namun demikian diperintahkan seorang danyang untuk memanggil Nyai Roro Kidul.
Tak lama kemudian menghadaplah ke hadapan sang ratu seorang wanita muda yang cantik jelita, aroma harum melati terpancar dari tubuhnya.
“Nyi Roro.”
“Sendiko dawuh kanjeng Ratu junjungan hamba.”
“Segeralah kau gunakan kereta kencana, ada manusia di pantai yang harus kau jemput sendiri, lalu langsung bawa menghadap kesini.”
“Nuwun, sekarang saya mohon diri,” dengan laku ndodok surut ke pintu, Nyai Roro Kidul melaksanakan perintah tersebut, langkahnya bergegas, dalam hati dia bertanya-tanya, siapakah gerangan manusia itu. Sebuah kereta kencana dengan enam kuda putih tak lama kemudian sampai di depan istana.
“Biarlah kali ini aku yang menjadi saisnya Nyai Kembang Suri,” yang dipanggil Nyai Kembang Suri pun menyerahkan cemeti kepada Nyai Roro Kidul tanpa banyak tanya karena dilihatnya Nyi Roro yang kelihatannya sangat tergesa-gesa. Tak lama kemudian meluncurlah kereta dengan cepat sekali ke permukaan, tidak sulit baginya menemukan tempat dimana manusia yang akan di jemput itu berada, karena tanpa diperintah, seolah permukaan air laut telah membentuk jalan lurus ke arah pantai.
“Seorang ksatria,” gumamnya menilik aura kuning yang memancar dari tubuh sosok di tepi pantai itu.
Bulan tepat diatas ubun-ubun ketika dengan tiba-tiba ada kereta yang sangat indah sudah berada tepat di hadapan Panembahan Senopati.
“Salam dari Ratu kami Kanjeng Panembahan Senapati,” sapa Nyai Roro Kidul ketika tahu siapa yang dijemput.
“Siapakah engkau dan siapa pula ratumu?”
“Saya Nyi Roro Kidul Panembahan,” Jawabnya sambil membungkuk hormat “Sedang Ratu kami adalah Kanjeng Ratu Kidul”
“Lalu apa keperluanmu?”
“Hamba diutus untuk menjemput Panembahan,” Panembahan Senopati mengerutkan alisnya.
Sambil berjalan memasuki Kereta Kencana, “Seumur hidupku, baru kali ini melihat kereta seindah ini,” bisik hatinya sambil duduk di kursi empuk perhiasan manik-manik dan harum. Perlahan kereta pun bergerak, lurus seolah menerjang ombak, dari balik kelambu sutra hijau, Panembahan semakin heran dengan yang di alami. Seperti yang telah diamanatkan oleh Sunan adilangu untuk tidak membaca dzikir apapun, jadi meskipun seolah kereta yang membawanya menyusup ke dalam samodra dengan kecepatan tak terkira, beliau tetep duduk dengan tenang. Tak lama kemudian sampailah didepan istana yang megah, pintu kereta dibuka, saat panembahan menginjak kaki di tanah yang lembab beberapa danyang mendekati sambil membawa bokor-bokor emas berisi air.
“Selamat datang di istana kami Kanjeng Panembahan,”, ujar Nyai Roro Kidul sambil menyorongkan kursi.
“Silahkan duduk dulu, biar kami membersihkan kaki Panjenengan,” Panembahan senopati yang masih terkagum-kagum dengan pemandangan yang dilihatnya mengikuti saja, seperti berebut para danyang mencuci kaki tangan beliau.
“Mari hamba antar menghadap Kanjeng Ratu Panembahan,” kali inipun Panembahan hanya mengikuti saja.
“Kenapa semuanya wanita?” tanya Panembahan keheranan.
“Pria tidak diperkenankan masuk sampai sini Panembahan, biasanya hanya diterima Kanjeng Ratu di pendapa.”
“Apakah kita di dasar laut?”
“Di dasar samudera sinuwun,” begitu Nyi Roro Kidul memberi penjelasan apapun yang ditanyakan Panembahan Senapati, juga termasuk bahan bangunan istana dan ornamen yang tidak sama dengan istana-istana pada umumnya.
Sampailah mereka didepan sebuah pintu yang terukir indah sekali, seluruhnya terbuat dari emas, dengan ukuran bunga dan naga, didepan pintu ada 4 orang danyang yang berjongkok.
“Sampaikan pada Kanjeng Ratu, saya sudah datang bersama tamu kehormatan.”
“Sialahkan masuk Kanjeng Panembahan,” terdengar suara merdu dari balik pintu, disusul dengan membukanya pintu kearah dalam.
“Silahkan Panembahan,” ucap Roro mempersilahkan. Panembahan mengikuti saja melangkah mesuk ke dalam, begitu melangkah masuk, pintupun perlahan tertutup.
“Salam hormat saya Kanjeng Ratu yang mulia,” kata Panembahan sambil mengarah ke wanita cantik yang perlahan turun dari bangsal kencana. Kanjeng Ratu jalan lurus mendekati Panembahan yang menunduk sebagai rasa hormat.
“Kita bertemu lagi Panembahan,” suara itu begitu pelan seolah hanya terngiang di dalam telinga. Mendengar itu, Panembahan memberanikan diri untuk mencoba melihat Ratu yang dihadapannya. Hanya sejenak memandang, dada Panembahan seperti digedor-gedor dan berdegub dengan sangat kencang. Karena dilihatnya seorang ratu yang luar biasa cantiknya, segala yang indah seolah tidak ada bandingnya. Kulitnya putih kemerahan begitu beningnya seolah pembuluh darahnya kelihatan, sekilas memandang cukup membuatnya silau oleh aura yang memancar dari tubuhnya.
“Mohon maaf Kanjeng Ratu, seingat saya kita belum pernah berjumpa,” sahut Panembahan sambil menjaga dengup jantungnya agar tidak kentara. Namun tetap saja suaranya yang bergetar memaksa Kanjeng Ratu tersenyum sambil menahan linangan air mata.
“Apakah Panembahan tidak mengenali hamba?,” kali ini suara itu terdengar jelas, karena tercampur nada sedih, betapa tidak, pria yang selama ini dirindukan siang malam seolah tidak lagi mengenalinya.
Sekali lagi panembahan tengadah memandangi sang Ratu, kemudian menunduk lagi sambil menggeleng kepala.
“Maaf Kanjeng Ratu, selama ini saya belum pernah melhat sosok makhluk Tuhan yang begitu sempurna seperti Kanjeng Ratu.”
“Panembahan benar-benar tidak megenali Hamba? Apakah begitu bencinya Paduka sehingga melupakan hamba dari hati Paduka?,” suaranya sedih bercampur isak. Kanjeng Ratu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, beliau mendekat dan bersimpuh di kaki Panembahan senapati yang semakin terheran-heran tidak mengerti.
Dilihatnya lagi Ratu jelita yang bersimpuh di kakinya, wangi melati semerbak wangi dari tubuhnya yang memancarkan cahaya putih kemerahan.
“Mohon maaf kelancangan saya Kanjeng Ratu,” kata panembahan sambil memberanikan diri menyentuh pundaknya sambil membimbingnya supaya berdiri, merekapun berdiri berhadapan dalam jarak yang sangat dekat.
“Sepintas Gusti Ratu mengingatkan hamba pada istri tercinta yang sekian lama seolah lenyap tertelan bumi,” kata Panembahan dengan nada haru sambil cepat-cepat melepaskan tangannya yang masih memegang pundak Ratu.
“Apakah dia cantik panembahan?”
“Ya, wanita tercantik yang pernah saya temui sebelum bertemu kanjeng ratu.”
Kanjeng Ratu Kidul tersenyum, senyum yang sangat indah seolah terbitnya sinar mentari mengusir gelap dan pekatnya embun pagi hari. Panembahan terpana, sesaat kemudian menghela nafas sambil menggelengkan kepala keras-keras.
Kanjeng Ratu mengamati sambil tetap tersenyum.
“Apakah ada yang mengganggu panembahan?”
“Maaf Kanjeng Ratu, tidak sepantasnya hamba berada disini, hamba memiliki istri yang akan terus akan hamba cari.”
“Kang Mas,” kali ini suara itu begitu mengentak di dada Panembahan, suara yang sangat dikenalnya.
Panembahan Senopati memantapkan diri untuk memandang sosok putri cantik jelita yang duduk sambil tersenyum kepadanya. Sambil duduk di dampar kencana terbuat dari emas utuh bermotif bunga gading kuning yang sedang mekar dengan kelopak terbuat dari bludru merah sebagai tempat duduknya. Panembahan yang gagah perkasa itupun seolah lemas semua urat di persendiannya sehingga tubuh yang gagah perkasa itu tidak mampu menahan berat badannya, terduduk lemas seolah tak percaya dengan apa yg dilihatnya.
“Kang mas sudah mengenal hamba,” kalimatnya halus merdu langsung membelit hati raja yang perkaai itu sehingga tidak mampu berkutik. Kanjeng Ratu mendekati suami yang sangat di cintainya itu, duduk bersimpuh di hadapan Panembahan yang terduduk sambil tidak henti-hentinya mengamati Ratu Ayu itu lekat-lekat.
“Apakah Gusti Ratu adalah…”
“Benar Kangmas,” sambung Kanjeng Ratu karena Panembahan tidak mampu melanjutkan perkataannya.
Perlahan Panembahan berdiri, kalimat Kanjeng Ratu tadi memastikan tentang dugaannya. Sesungguhnya ketika melihat untuk yang pertama kali tadi, Panembahan tiba-tiba teringat akan istri yang selama ini dicarinya. Seluruh telik sandi keraton di sebar ke seluruh penjuru pulau Jawa. Bahkan di tempat-tempat penyeberangan beliau memerintahkan untuk dilakukan penjagaan siang malam agar mengetahui bila istrinya akan menyeberang, namun tidak menyangka sama sekali apabila yang dihadapi adalah istrinya itu. Hal ini sangat wajar, karena sesungguhnya Kanjeng Ratu Kidul yang sekarang tidak sama dengan Dewi Sri Pohaci atau yang dikenal oleh rakyat Mataram sebagai Cinde Maya permaisuri junjungan mereka yang kabarnya lenyap tanpa jejak hingga menggemparkan seisi istana,
Sejak menerima ilmu sehingga bisa hidup di alam manusia maupun alam jin, juga bisa hidup didalam air maupun di daratan, maka secara struktur, raganya sudah tidak sama lagi dengan manusia, itu yang membuat kecantikannya laksana dewi kahyangan juga cahaya yang memacar dari kulitnya. Tanpa ragu lagi Panembahan menarik lalu memeluk erat-erat dewi pujaan hatinya itu, begitu eratnya seolah takut kalau terlepas lagi. Dalam keadaan yang seperti itu Panembahan tidak menyadari kalau pelukannya itu seharusnya mampu meremukkan batu karang sekeras apapun. Namun tubuh Kanjeng Ratu begitu kenyal, seolah tulang belulangnya bisa melunak sehingga tidak merasa kesakitan sama sekali.
Panembahan baru teringat dan cepat-cepat mengendorkan pelukannya ketika merasa air hangat yang menetes di pundaknya, yah itu air mata kebahagiaan yang sudah lama terpendam. “Maafkan Kanda telah menyakitimu Yayi,” permaisuri hanya tersenyum meski air matanya masih terus mengalir, namun matanya cerah dan memancarkan kebahagiaan tak terkira. “Aku akan bersuci dan untuk menghaturkan puji syukur kepada Tuhan, apakah sudah waktunya shalat Yayi?,” pertanyaan itu mengagetkan, namun dengan tenang permaisuri menjelaskan.
“Di dasar samudera, waktu tidak berjalan seiring dengan perputaran waktu di daratan Kangmas. bahkan bisa dibilang disini waktu telah berhenti. Sehingga siapapun yang berada disini seolah tidak akan menjadi bertambah usianya,” Panembahan senapati manggut-manggut mencoba memahami. Sejenak kemudian Kanjeng Ratu lenyap di balik kelambu sutra hijau dan tak lama kemudian muncul lagi sambil membawa bejana besar terbuat dari batu pualam yang berbentuk bunga teratai.
“Mari hamba bersihkan Kangmas,” begitulah dengan perasaan berbunga-bunga kedua insan itu saling membersihkan diri dengan senyum yang tidak pernah lepas.
Saat Panembahan selesai bersuci dan mulai memanjatkan puji syukur kepada Tuhan, Panembahan merasa ada yang aneh. Istrinya menjauh dan tubuhnya seolah berubah-ubah, bahkan cahayanya dan aromanya juga berubah-ubah. Serta merta Panembahan menghentikan puji syukurnya kerena teringat pesan Sunan Adilangu agar tidak dzikir wirid apapun, maka suasana kembali cerah seperti semula. “Maafkan kanda Yayi, seharusnya Yayi mengingatkan.”
Sang permaisuri hanya tersenyum menawan hati. Panembahan segera menepis bayangan yang tadi sempat di lihatnya betapa sang permaisuri seolah berubah menjadi nenek-nenek. Permaisuri serupa sang Dewi, wajahnya, sosoknya sangat menarik hati, Senopati terpesona hatinya melihat kecantikan si Dewi seperti Ratih. Mereka selalu saling mencuri pandang. Senopati dibimbing sang Dewi keruangan lain, kali ini ornamen bernuansa merah kuning. Keduanya, sang Senopati dan Dewi melepas genggaman tangan kemudian duduk, di atas bunga kanthil emas. Jeng Ratu menggeliatkan badannya, senopati selalu melihatnya dengan mencuri pandang.
Melihat pada kecatikan Ratu, mendadak galau dan gelisah di dalam hatinya. Teringat kembali apa yang tadi di lihatnya. Sepertinya si Dewi bukan sejenis manusia, menjadi hilang keinginannya. Senopati berkeliling melihat-lihat keasrian taman puri si Dewi. Namun tetap saja Panembahan tidak dapat menahan untuk mengagumi keasrian dan keindahan taman sari. Sebuah ranjang emas kuno merupakan mustika yang dikisahkan jaman dahulu Gathotkaca dan kera putih merebutkannya, berkelahi di angkasa, ranjang terlempar ke samudera. Terukir tretes intan permata, harum kembang bercampur dupa yang membuat pikiran Panembahan terbuai seolah terayun dengan keindahan yang tiada terkira.
Bersambung ke Oleh Oleh Dari Padepokan Klampis ireng Part 7